Jumat, 25 September 2020

Nepal van Java, Namche Bazaar ala Jawa Tengah

Dusun Butuh, Desa Temanggung, Kaliangkrik Magelang yang mirip Namche Bazaar di Nepal. Photo by : Wildan Indrawan.
"Ada tempat kaya Namche Bazaar, Nepal di dekat sini," Kata teman saya Eko Lisyanto. Memang, kami berdua selalu membicarakan hal-hal terkait gunung es karena kami pernah bersama mendaki gunung Himalaya di India Utara. Kami berdua memang belum pernah menapaki Namche Bazaar di Nepal sana, kami hanya melihatnya di internet tapi membicarakan hal-hal seperti itu selalu membuat kami bergairah. Ia bercerita di dusun Butuh, Desa Temanggung, Kecamatan Kaliangkrik, Magelang ini kalau dilihat mirip Namche Bazaar dengan latar pegunungan es, bedanya di sini latarnya Gunung Sumbing.

Tak jauh dari rumah nenek saya di Magelang memang terdapat Gunung Sumbing yang gagah menjulang tinggi, gunung ini menjadi gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Ada beberapa basecamp yang menjadi titik start pendakian Gunung ini, di antaranya melalui Temanggung, Wonosobo, atau Magelang. Saya memilih dari Magelang karena kebetulan saya sedang berlibur di rumah nenek di Magelang dan hanya butuh waktu satu jam untuk mencapai basecamp dusun Butuh.

 

Pos tiga di sore hari yang cerah, nampak gunung Merbabu dan Merapi dari kejauhan. Photo by : Wildan Indrawan

"Yaudah yuk kita ke sana!" Kata saya kepada Pak Eko, sapaan akrab saya ke Eko Lisyanto karena memang dia lebih tua usianya dari saya. Ia setuju untuk mendaki gunung setinggi 3371 mdpl ini dengan saya karena ia memang sedang tidak banyak pekerjaan. Di Magelang, ia mempunyai pekerjaan yang cukup unik menurut saya, selain sebagai fotografer lepas, ia juga bekerja di ketinggian seperti gedung-gedung bertingkat untuk sekedar membersihkan kaca gedung atau memperbaiki instalasi di ketinggian. 

 

Waktu itu bulan Juni 2019, Saya memutuskan naik gunung Sumbing ini sekalian mengajak sepupu saya yang memang gemar mendaki, Restu namanya. Saya panggil Dik Restu karena dia anak dari paman saya. Ia mengajak teman-temannya sehingga total rombongan kami berjumlah enam orang. Kami patungan menyewa mobil bak untuk mengangkut kami dan barang-barang kami ke dusun Butuh di Kaliangkrik. Sekitar satu setengah jam kami sampai karena harus mampir dan singgah di beberapa tempat untuk membeli perbekalan tambahan.

Dusun Butuh dari sebelah timur, nampak jajaran rumah tersusun rapi. Photo by : Wildan Indrawan
Kami sampai basecamp dusun Butuh selepas maghrib, ini akan jadi kali pertama saya mendaki gunung lagi setelah dua tahun tidak ke gunung. Ya, saya harus berhenti berkegiatan ekstrim lantaran saya cedera lutut cukup parah. Selepas operasi lutut, Gunung Sumbing jadi gunung yang pertama yang akan saya daki. Bukan pertama kalinya saya mendaki gunung ini, semasa kuliah saya pernah naik gunung ini melewati jalur Garung di Wonosobo.
 

"Jangan memaksakan diri ya mas," kata Restu pada saya mengingatkan. Benar sekali, saya tidak bisa memaksakan diri karena sudah dua tahun tidak mendaki gunung, saya akan mendaki sekuatnya saja, tidak harus sampai puncak.


Symphony Sumbing, itulah nama basecampnya. "Kemenggres ya nama basecampnya,"canda saya pada teman-teman. Saya menyebut "Kemenggres" yang artinya sok-sok dibahasa inggriskan. Saya juga kurang tahu kenapa namanya Symphony Sumbing, ingin saya menanyakan kepada penjaga basecamp tapi urung hari sudah gelap, kami semua harus segera tidur.

 

Pagi hari saya dibangunkan Pak Eko, "Ayo keluar! lihat pemandangannya cerah sekali,"katanya. Saya masih bermalas-malasan selepas shalat subuh karena hawa dingin menusuk di pagi hari. Dengan terpaksa saya mengikuti Pak Eko, benar saja saya tercengang melihat pemandangan pagi itu. Saya bergegas masuk kembali untuk mengambil drone, saya ingin memotretnya dari udara.

 

Begitu drone saya terbang, seluruh dusun kelihatan dari udara dengan latar belakang Gunung Sumbing yang indah. Semburat matahari menampakkan diri dari belakang perbukitan menambah eksotisme pagi itu. "Masya Allah," kata saya dalam hati. Benar juga, mirip di Namche Bazaar di Nepal. Yang membuat mirip adalah jejeran rumah yang tersusun bertingkat menyesuaikan kemiringan gunung. Ini pemandangan yang unik dan jarang terdokumentasikan, beruntung saya bisa mengabadikannya.

 

Saya berfoto di pos tiga Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangkrik dengan latar gunung Merbabu dan Merapi. Photo by : Eko Lisyanto

Desa ini mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani sayur seperti wortel, kol, seledri, tomat, dan sayuran lainnya. Deretan rumah di kaki gunung Sumbing ini menjadi tempat start bagi ratusan pendaki yang datang setiap harinya. Oh iya, di basecamp Symphony Sumbing ini juga ada fasilitas wifi berbayar mengingat sinyal operator seluler di sana tidak stabil. Pakai sinyal wifi ini saya jadi bisa segera mengunggah hasil foto saya di media sosial.

 

Saya tak menyangka karena foto saya di sini, sekarang dusun Butuh menjadi viral di jagat maya dan dikenal dengan Nepal van Java. Karena saya mengunggah foto ini dengan caption foto seakan tempat ini bak Namche Bazaar di Nepal. Lilik Setiawan, Kepala Dusun Butuh hingga sekarang menjadi teman dekat saya. Ia merasa berterima kasih karena foto saya, kini desanya didatangi banyak wisatawan. Bukan hanya pendaki gunung tapi wisatawan yang hanya sekedar berkunjung untuk berfoto di sini semakin banyak sehingga menghidupkan perekonomian warga setempat.

 

Pendakian pagi itu kami mulai segera setelah sarapan. Basecamp ini juga menyediakan makanan yang siap saji, ada nasi, sayur, lauk yang masih panas, dan minuman panas yang bisa menghangatkan hawa dingin di dusun Butuh. Awalnya pendakian berjalan lancar hingga mendekati pos pertama badan saya gemetaran, nampaknya karena sudah lama sekali saya tidak naik gunung jadi otot-otot saya kaget karena mendapat beban berat.

 

Sembari mengisi air, di pos pertama kami istirahat. Di sini adalah sumber air terakhir, jadi kami mengambil air secukupnya untuk perjalanan naik, bermalam, dan saat turun nanti. "Biasanya sih ada genangan air di dekat pos tiga, tapi sekarang nampaknya lagi kering" ujar Restu pada saya. Tak mau berspekulasi, kami sebaiknya memang harus mempersiapkan air semaksimal mungkin. Kami tidak ada rencana ke puncak mengingat kondisi lutut saya yang belum fit sepenuhnya. Target kami bermalam di pos tiga, di sana tempat agak lapang dan pemandangan terbuka lebar. 

Pos tiga Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangkrik di sore hari. Pos ini menjadi transit menginap bagi para pendaki. Photo by : Wildan Indrawan

Selepas beritirahat di pos satu, kami melanjutkan perjalanan menuju pos dua. Medan cukup terjal dan panjang berselimutkan pepohonan yang masih lebat. Beda saat perjalanan dari basecamp menuju pos satu, ladang penduduk mewarnai sepanjang perjalanan. Jalur yang kami lalui menuju pos dua ini cukup teduh jadi kami tidak tersengat panas matahari. Sesekali kami beristirahat mengunyah makanan ringan sebagai ganjal perut sebelum makan siang nanti.

 

Di pos dua kami beristirahat sembari makan siang. Makanan berat sudah kami bungkus dari basecamp sebelum berangkat untuk memudahkan kami makan di perjalanan. Kami berencana masak besar nanti di pos tiga karena di sana lebih leluasa, beda dengan pos dua yang agak sempit dan banyak yang beristirahat di sini. 

 

Kadang suka kesal, ada saja pendaki yang mendirikian tenda di dalam shelter atau pos peristirahatan. Di pos dua ini saya temui ada tenda didirikan di dalam pos tapi orangnya tidak ada. Sebaiknya memang tidak mendirikan tenda di dalam shelter karena memang fungsi shelter ini untuk berteduh dari hujan atau panas saat belum mendirikan tenda.

 

Saya bersantai di pos tiga Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangkrik di sore hari. Photo by : Ilham 

Perjalanan kami lanjutkan ke pos tiga, letaknya tidak jauh dari pos dua, sekitar satu jam perjalanan kami sudah sampai. Masih banyak lahan kosong di pos ini jadi kami bebas memilih mau mendirikan tenda di mana saja. Kami tata camp kami supaya nyaman, ada dua tenda yang saling berhadapan dan di tengahnya kami fungsikan sebagai dapur umum. Koki di pendakian kali ini si Restu, dia berencana masak ala masakan rumahan. Awalnya saya tidak menyangka dia bisa masak, ternyata masakannya tidak kalah sama ibu saya.

 

Nikmat sekali bisa makan masakan ala rumahan oleh adik sepupu saya di gunung. Lodeh, tempe goreng, dan nasi liwet menjadi menu kami. Sungguh nikmat, karena saya jarang sekali bisa makan makanan seperti ini di Jakarta. Mengobati kerinduan saya pada masakan rumahan.

 

Tempat camp kami di pos tiga Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangkrik. Kami sedang mempersiapkan masakan untuk makan malam. Photo by : Wildan Indrawan

Menyenangkan sekali saya bisa menjejakkan kaki lagi di gunung. Di gunung ini saya berjanji suatu saat saya akan membuat video perjalanan yang membahas aktifitas masyarakat dusun Butuh dan perjalanan pendakian Gunung Sumbing, nampaknya akan sangat menarik. Saya berandai-andai sembari menikmati senja di depan tenda.

 

Malamnya kami beristirahat, karena esoknya kami berencana untuk turun. Ya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan sampai puncak karena saya masih tidak yakin dengan kemampuan otot kaki saya. Butuh ketahanan dan kekuatan otot kaki, karena sudah lama saya tidak mendaki gunung dan juga stamina saya tidak sebagus dua tahun lalu.

Pemandangan malam hari dari pos tiga Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangkrik. Nampak pemukiman di bawah dengan latar Gunung Merbabu dan Merapi. Photo by : Wildan Indrawan
Kami menikmati istirahat malam dengan secangkir kopi dan teh hangat sembari bercengkerama dengan kawan. Malam itu cerah, jutaan bintang menemani malam kami di tenda. Sesekali angin dingin menerpa wajah kami hingga membuat kami harus masuk ke dalam tenda untuk menghangatkan diri. Selamat malam semesta, Janjiku akan kutepati untuk membuat video perjalanan di kunjungan selanjutnya.

Berikut videonya

2 komentar: