Rabu, 27 Mei 2020

Indonesia Covid-19 / Journalist on Duty

Saya sedang memeriksa pengaturan kamera di dalam ruang isolasi RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi.
(Foto oleh : Kabul Indrawan)
Kacamata ini berembun membuat saya kesulitan mengatur setting kamera. Saya tidak yakin apakah pencahayaan saya sudah tepat ataupun titik fokus saya tidak meleset karena penglihatan saya terbatas oleh embun di kacamata. "Ah! Panas dan gerah," kata saya dalam hati, keringat mengalir deras hingga masuk ke mata. Sungguh situasi yang tidak ideal untuk mengoperasikan kamera.

Di dalam ruangan isolasi RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi ini saya harus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan lengkap dan semua bagian tubuh saya harus tertutup rapat jika tidak ingin terpapar virus Novel Corona. Memang ini bukan kali pertama saya harus berjibaku dengan penugasan di daerah berbahaya. Liputan perang ataupun bencana sudah sering saya jabani, namun kali ini berbeda musuh yang saya hadapi tak kasat mata.

Seminggu sebelumnya saya mendapatkan sebuah pesan singkat di ponsel saya. Rupanya dari mas Kabul Indrawan,  ia adalah manajer news gathering di kantor saya, Metro TV. Pria yang sudah banyak pengalaman jurnalistik di tempat konflik dan bencana ini menanyakan perihal pengaturan kamera pada saya. Wah, pasti beliau akan melakukan sebuah penugasan penting gumam saya. Tidak banyak pejabat di kantor saya yang terjun lagi ke lapangan untuk melakukan peliputan karena padatnya pekerjaan di kantor.  "Saya mau liputan di RS," Katanya pada saya. Saya cukup terkejut rupanya ia mau meliput penanganan Covid-19 di rumah sakit. 
Saya dan Kabul Indrawan saat mencoba APD di kantor Metro TV. kami berdua mendapatkan perlengkapan APD dari manajemen Media Grup. (Foto oleh : Edy Prasetyo)
Beberapa hari sebelum dihubungi beliau, sebenarnya saya sudah terpikir juga apakah saya harus liputan ke dalam RS? Karena saya pikir selama ini informasi tentang kerja keras dan perjuangan para tenaga medis dalam melawan pandemi ini masih belum lengkap diketahui masyarakat. Tapi saat itu saya belum yakin untuk membuat liputan di dalam RS karena belum ada keteguhan hati. Namun setelah mas Kabul mengutarakan rencananya saya jadi bersemangat untuk membuat liputan ini.

Akhirnya kami berdua sepakat untuk masuk ke zona merah, RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi menjadi tujuan pertama untuk kami liput. Mas Kabul akan membuat liputan untuk berita harian, saya membuat liputan dokumenter. Saya pun mengajak rekan saya Amalina Luthfia untuk bergabung dalam project ini sebagai produser dan reporter. Lina, begitu saya memanggilnya, ia adalah reporter yang sering menjadi partner saya di program travel documentary di Metro TV yaitu program Journey.

Kabul Indrawan saat mengambil gambar di dalam ruang isolasi RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi. (Foto oleh : Wildan Indrawan)
Dengan menggunakan dua kamera mirrorles saya memasuki ruangan isolasi pasien positif Covid-19. Perasaan berdebar-debar terus menggelayuti karena ini akan jadi pengalaman pertama saya dalam membuat cerita tentang virus yang menjangkiti jutaan manusia di berbagai belahan dunia. Saya meyakini hal ini akan menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia di planet bumi. "Saya harus membuat video yang keren," Kata saya dalam hati menyemangati diri.

Di RSUD Bekasi ini kami ditemani oleh Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19 Bekasi, dr. Anthony D. Tulak, Sp. P. Ia menceritakan kepada kami bahwa di rumah sakit ini hanya ada empat orang dokter spesialis paru, itupun satu di antaranya harus terbaring sakit karena kelelahan. Mereka harus pintar mengatur waktu untuk bisa menangani puluhan pasien Covid-19 maupun non Covid-19 tiap harinya.

Saya dan Mas Kabul masuk bersama dokter dan perawat untuk menyambangi pasien di ruang isolasi sementara Lina menggali data di luar ruang isolasi. Saya masih was-was apakah nanti masih bisa terpapar virus ini meski saya sudah memakai APD lengkap, karena tidak sedikit cerita tentang tenaga medis yang juga terpapar virus meskipun sudah menggunakan APD lengkap. Saya hanya bisa berdoa agar bisa menjalankan tugas ini dengan baik dan tidak menjadi korban selanjutnya.

Di dalam ruang isolasi saya melihat beberapa pasien dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang kategori ringan, sedang, dan berat. Kami diajak mengunjungi pasien dengan kategori ringan-sedang agar tidak membahayakan bagi kami nanti. Di dalam ruang isolasi ini beberapa pasien nampak dalam kondisi baik, bahkan saya melihat seperti orang sehat pada umumnya. Namun ada beberapa yang nampak lemah, lesu, dan badan nyeri sekujur badan.
Sri Rusyati, salah satu perawat di RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi yang menemani kami masuk ruang isolasi. (Foto oleh : Wildan Indrawan)
Selain dr. Anthony, kami juga ditemani oleh beberapa perawat dalam mengunjungi pasien. Sri Rusyati, adalah salah satunya, ia menceritakan kisahnya pada saat bertugas di ruang isolasi. Banyak pasien yang mengeluh lantaran sudah bosan di ruang isolasi, mereka ingin segera pulang. "Kami harus memberi pemahaman kepada pasien bahayanya virus ini jika mereka bersikeras minta pulang jika belum sembuh benar," Kara Sri. Beberapa pasien dalam kondisi baik tapi saat tes PCR hasilnya masih positif Covid-19 jadi belum diperbolehkan untuk pulang. 

Selain itu Sri harus menahan diri untuk memakai APD minimal lima jam sehari. Panas, badan basah akan keringat, dan lelah menjadi bagian sehari-hari dalam bertugas. Pada saat beribadah pun ia tidak melepas APD-nya karena  ia masih harus tetap bertugas di dalam ruang isolasi. "Mau bagaimana lagi mas, kalau saya ganti APD berkali-kali itu jadi pemborosan, sementara APD sangat terbatas," Katanya pada saya.
Saya sedang antri di ruangan khusus untuk melepas APD sebelum meninggalkan ruang isolasi pasien Covid-19 di RSUD Chasbullah Abdulmadjid Bekasi. (Foto oleh : Wildan Indrawan)
Saya yang memakai APD tak lebih dari dua jam saja rasanya luar biasa kepanasan dan membuat baju saya basah kuyup karena keringat. Selain rasanya seperti sauna, saya juga kehausan. Mau minum sangat sulit karena harus membuka semua APD yang ada di wajah, jika saya buka di dalam ruang isolasi itu artinya akan membuat saya sangat mudah terpapar Covid-19.

Tidak hanya RSUD Bekasi tapi kami juga ke RSUP Persahabatan di Jakarta Timur. Kami bertiga selalu menjalankan SOP pemakaian APD dan pencegahan agar tidak terpapar virus Corona. Untuk Hazmat dan APD lain kami dibekali dari kantor agar tidak merepotkan pihak RS yang kami datangi. 
Tim medis yang terdiri dari dokter dan perawat berdoa sebelum melakukan operasi sesar pada ibu hamil dengan status positif Covid-19 di RSUP Persahabatan Jakarta timur. (Foto oleh : Wildan Indrawan)
Pada dasarnya di setiap Rumah Sakit Rujukan Covid-19 ada sebuah ruangan khusus sebelum keluar dari ruang isolasi pasien Covid-19, di sini petugas medis harus membersihkan diri dari benda-benda dari dalam ruang isolasi. Baju hazmat, face shield, masker, goggles, hand glove, dan sepatu boots harus ditanggalkan semua di sini. Di rumah sakit rujukan Covid-19 ada tiga zona yakni zona hijau, kuning, dan merah, yang terakhir merupakan zona infeksius berbahaya.

Ketika kita memasuki zona merah apapun alasannya dan hendak keluar ke zona kuning atau hijau maka kita diwajibkan untuk membersihkan diri dengan mandi dan mengganti baju agar tidak membuat kontaminasi di zona lain. Saya bisa mandi lima kali dalam sehari karena harus berpindah-pindah zona di dalam rumah sakit. Cukup melelahkan karena harus melepas semua perlengkapan dan memakai lagi yang baru.
Tim dokter dan perawat sedang bersiap untuk melakukan operasi pada pasien ibu hamil dengan status positif Covid-19 di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur. (Foto oleh : Wildan Indrawan)
Saya beruntung di RSUP Persahabatan ini diijinkan masuk ruang operasi dan mendokumentasikan persiapan operasi sesar pada pasien ibu melahirkan dengan status positif Covid-19. Saya merasa beruntung karena tidak mudah untuk mendapatkan ijin meliput operasi pasien Covid-19 dan juga mungkin pandemi Covid-19 ini hanya bisa saya liput sekali seumur hidup. 

Di sini saya harus melakukan protokol yang cukup ketat dalam memasuki ruang operasi seperti tata cara pemakaian APD, sampai masuk ke ruang operasi hingga setelah operasi selesai. Pintu masuk dan keluar dibedakan agar bisa membedakan siapa yang dari dalam atau dari luar ruang operasi untuk sterilisasi dari kontaminasi virus. Setelah dari dalam ruang operasi semua APD ditanggalkan di ruangan khusus lalu kemudian berpindah ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh badan menggunakan sabun.

Di RSUP Persahabatan ini juga saya mendengar kisah pilu dari salah satu tenaga medis. Seorang perawat menuturkan ceritanya kepada saya bagaimana ia harus berpisah dengan suami dan anaknya. Sudah sebulan lebih wanita asal Minang ini tidak bisa berjumpa dengan keluarganya lantaran ia harus merawat pasien covid-19 setiap hari. Sudah malang si perawat tak bisa bertemu keluarganya, sang suami pun harus rela kehilangan pekerjaannya.

"Suami saya dipecat dari pekerjaanya hanya karena saya bekerja sebagai perawat pasien covid," tuturnya sambil terisak. Sang suami mengalami flu hingga ditengarai terjangkit covid akibat terinfeksi dari istrinya yang bekerja di rumah sakit. Padahal pasangan ini tidak pernah bertemu semenjak pandemi ini menyerang Indonesia. Ia dituduh menderita covid-19 dan diberhentikan secara sepihak dari tempat ia bekerja padahal sudah terkonfirmasi bahwa keduanya negatif corona. 

Saya berfoto bersama dengan tim dokter dan perawat sebelum melakukan operasi pada pasien dengan status positif Covid-19 di RSUP Persahabatn, Jakarta Timur. (Foto oleh : Amalina Luthfia)
Diskriminasi terhadap tenaga medis ini menunjukkan bagaimana kurangnya wawasan sebagian masyarakat Indonesia, mereka melabeli orang-orang yang terkait dengan rumah sakit sebagai pesakitan yang harus dijauhi. Tenaga medis ini bekerja keras agar pasien bisa sembuh dan lekas pulang. Karena bagi tenaga medis, kesembuhan pasien adalah kebahagiaan bagi mereka. 

Kerap kali pasien sering mengeluhkan sudah rindu dengan keluarga di rumah. Ya, pasien yang berhasil sembuh bisa pulang ke rumah untuk bertemu keluarga, tapi untuk tenaga medis, pekerjaan mereka masih terus berlanjut hingga kapan tidak ada yang tahu.

Indonesia harus bersatu untuk melawan pandemi ini bersama, jangan ada saling hujat dan caci maki. Tidak ada yang menginginkan kondisi seperti ini bahkan di belahan dunia mana pun. Semoga pandemi ini segera selesai dan keadaan kembali lebih baik dari sebelumnya.

Untuk menonton trailer film dokumenter yang saya buat bisa menonton di tautan berikut,

2 komentar: