|
Saya di dalam ruang isolasi lantai 14 tower 6 RSDC Wisma Atlet Kemayoran Jakarta Pusat. (photo by : Wildan Indrawan)
|
Suara sirine ambulans itu meraung-raung tiap sejam sekali, suaranya seperti teriakan karena kelelahan saban hari mengantar orang yang terinfeksi virus covid-19. Gedung ini terus didatangi mobil berwarna putih itu dengan membawa pesakitan seperti saya ini. Ini hari ke 20 saya melakukan isolasi di Wisma Atlet Kemayoran Jakarta.
Dari dulu saya memang selalu bermimpi ingin menjadi bagian dari sejarah yang terjadi di planet ini tapi tak dinyana saya menjadi bagian sejarah kelam yang terjadi dalam peradaban manusia. Ya, saya terinfeksi virus covid-19. Saya sendiri tak menyangka hal ini akan terjadi pada saya.
|
Saya saat bertugas di dalam ruang isolasi RSUD Bekasi bulan April lalu. (photo by : Kabul Indrawan) |
Beberapa bulan lalu saya sempat keluar masuk ruang isolasi di rumah sakit rujukan pasien covid-19 untuk membuat film dokumenter. Saya sehat dan bisa menanggulangi paparan virus dari Wuhan China itu. Kali ini saya kecolongan, entah darimana saya terpapar. Kerap kali saya sudah menerapkan protokol kesehatan namun apes, saya masih terserang.
Awalnya saya menderita demam yang tak kunjung reda selama lima hari, Jumat (11/9) saya putuskan ke rumah sakit untuk cek darah. Alhasil saya diketahui menderita typhus hasil dari cek widal. Foto thorax juga dilakukan, hasil analisa saya ada infeksi virus di paru-paru tapi tidak identik seperti virus SARS Cov19.
Tak mau telat tertangani, saya segera lapor ke manajemen kantor saya untuk minta dilakukan swab test. Saya diminta menunggu dua hari lagi "coba Senin nanti ya semoga bisa dilakukan tes swab," Kata orang yang saya hubungi.
Saya menjadi ketakutan, saya bisa jadi terserang Covid-19 dengan gejala yang ada. Yang saya rasakan waktu itu demam yang suhunya naik turun, batuk, dan tidak nafsu makan. Untungnya saya tidak merasakan sesak nafas atau mati rasa pada alat indra pengecap saya.
Saya putuskan untuk tes swab dengan biaya sendiri karena memang saya tidak mau terlambat ditangani. RS Pelni di Palmerah Jakarta Barat jadi tujuan saya. Karena hasil penelusuran saya di internet rumah sakit ini yang bisa mengeluarkan hasil swab dalam satu hari.
Hari Minggu (13/9) saya dijemput teman saya dr. Ezzat yang juga dokter umum di Jakarta Selatan karena ia yang selama ini mengontrol kondisi saya melalui telpon. Dalam kondisi lemas saya diantar ke RS Pelni untuk melakukan swab test. Tak lama mengantri, tes swab berlangsung singkat. Saya diberitahu besok pagi hasil akan dikirim melalui email yang sudah didaftarkan.
Ya, benar saja. Esoknya (14/9), sekitar jam tujuh pagi saya mendapat notifikasi email dan saya dinyatakan positif. Saya marah dan kesal kepada diri sendiri "Kenapa bisa kecolongan sih!" Kata saya dalam hati. Segera setelah saya terkonfirmasi positif terinfeksi virus corona saya menghubungi orang-orang yang sempat berinteraksi dengan saya.
"Kalian harus swab test, segera! Saya positif," Kata saya di grup Whatsapp dan japri. Saya juga tak mau virus ini menyebar luas akibat dari kontaminasi saya. Alhasil ada beberapa teman saya dinyatakan positif tapi lebih banyak yang tidak terinfeksi.
Dengan bantuan dari keluarga, teman, dan manajemen kantor saya segera mendapat inspeksi dari Puskesmas Kebon Jeruk Jakarta Barat. Puskesmas ini yang terdekat dari tempat tinggal saya di Kedoya Jakarta Barat.
|
Petugas medis dari Puskesmas Kebon Jeruk Jakarta Barat mendatangi saya untuk evakuasi ke RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Lengkap dengan APD level 3, saya didatangi petugas medis dari Puskesmas Kebon Jeruk. Beberapa pertanyaan dan kelengkapan administrasi diminta untuk mempercepat proses evakuasi saya. Sekitar enam jam saya menunggu, ambulan datang menjemput saya. Segera saya dibawa ke Puskesmas untuk menunggu arahan akan dirujuk ke mana saya dirawat.
Ada dua pilihan waktu itu, antara Rumah Sakit di Pesanggrahan Jakarta Selatan atau RS Darurat Covid Wisma Atlet Kemayoran Jakarta Pusat. Saya pilih di Wisma Atlet karena lebih familiar dan saya dengar di sana ruangannya sangat nyaman untuk isolasi.
|
Saya di dalam ambulans menuju RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Tak butuh waktu lama setelah mendapat persetujuan dari RSDC Wisma Atlet, saya segera diantar menggunakan ambulans Puskesmas Kebon Jeruk. Tidak sampai satu jam saya sampai di Wisma Atlet Kemayoran.
Saya diserahterimakan petugas Puskesmas Kebon Jeruk kepada petugas medis yang ada di lobi tower 6 RSDC Wisma Atlet Kemayoran. Rupanya banyak sekali yang antri, saya pikir tidak seramai ini. Saya langsung mengambil tempat duduk karena memang kondisi saya yang rasanya tidak karuan. Saya lemas, badan tidak enak, rasanya sangat tidak nyaman sementara saya harus menunggu antrian.
Saya mengantri sekitar tiga jam, ini termasuk cepat. Ada cerita, salah satu pasien datang jam tujuh malam, dini hari baru bisa dapat jatah kamar. Begitu nama saya dipanggil, petugas medis yang melihat muka saya yang pucat pasi segera bertindak cepat. "Tolong atas nama bapak Wildan ini didahulukan," Kata salah satu petugas.
Saya bersyukur sudah didahulukan karena memang saya ingin merebahkan diri saya. Tapi ternyata saya tidak langsung masuk ruang perawatan, saya harus diperiksa di IGD. Di sini saya diperiksa kondisi terakhir, saya sempat meminta untuk diinfus karena berhari-hari saya tidak mendapat asupan gizi yang mencukupi lantaran nafsu makan saya yang menurun.
Dokter yang menangani saya waktu itu tidak menyarankan untuk infus. Saya diminta makan makanan yang sudah disediakan dan minum paracetamol. Saya paksa makan saja dan minum obat yang saya bawa sendiri, badan jadi lebih enak dan sedikit berenergi. Tapi saya masih terbaring terkulai di ruang IGD ini, saya masih harus menunggu lagi untuk bisa masuk ke kamar isolasi saya.
|
Kamar saya di lantai 17 tower 6 RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Kurang lebih satu jam akhirnya saya diantar petugas ke ruang isolasi, saya mendapat kamar di lantai 17 di tower 6 ini. Ruang isolasi di RSDC Wisma Atlet ini berbentuk seperti apartemen, dalam tiap ruangan ada 2 kamar. 1 kamar dengan 1 ranjang dan 1 kamar dengan 2 ranjang, saat itu saya kebagian yang 1 kamar 2 ranjang. Ukuran kamar saya waktu itu kurang lebih 3x4 m di dalamnya tersedia almari dan AC.
|
Kamar mandi dan ruang tamu di RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Selain itu juga ada kamar mandi dengan shower air panas, ada ruang tamu dengan sofa dan meja, dan ada semacam dapur yang lebih berfungsi sebagai tempat jemur pakaian. Di sini kami harus melayani diri sendiri, makan dan obat harus ambil sendiri di nurse station, membersihkan kamar sendiri, dan cuci baju sendiri. Makanan tersedia tiga kali sehari dalam bentuk nasi kotak yang berisi sayur, lauk, buah dan air mineral botol 600 ml. Di samping itu juga ada snack setelah sarapan yang isinya makanan ringan dan susu. Di sini juga bisa memesan makanan dari luar tapi saya jarang sekali melakukan itu karena cukup merepotkan dan menambah pekerjaan bagi para porter yang mengantar makanan ke lantai masing-masing.
|
Nurse Station RSDC di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Di tiap lantai ada nurse station, isinya sekitar 3-4 orang perawat yang bertugas mengontrol pasien. Saya dimasukkan grup whatsapp yang isinya pasien-pasien covid-19 dalam satu lantai tersebut. Saya lihat di dalam grup itu ada sekitar 50 orang anggota grupnya. Saya tidak bisa bayangkan betapa melelahkan kerja para tenaga medis itu harus mengawasi puluhan pasien di tiap lantai.
|
Ruang tindakan/Poli di RSDC di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Sesampainya di kamar saya langsung ambruk karena badan yang sangat lemas dan saya langsung tidur. Di tengah malam saya terbangun lantaran demam lagi karena efek dari paracetamol yang saya minum sebelumnya sudah habis. Saya tidak bisa tidur, "saya harus minum paracetamol lagi," Kata saya dalam hati. Tapi saya harus makan sebelum minum obat, saya bingung di mana saya bisa makan jam segini.
Saya ke nurse station di sana saya lihat ada sisa kotak makanan yang tidak dimakan, saya ambil saja. Meski tidak nafsu makan, saya paksa untuk menyuapkan makanan. Baru tiga suap saya sudah tidak kuat, saya minum paracetamol setelahnya, akhirnya saya bisa tidur pulas lagi.
Pagi harinya badan saya berat sekali untuk ambil jatah sarapan dan obat. Dengan terpaksa saya harus bangun dan pergi ke nurse station untuk ambil makanan dan obat. "Saya kalau harus ambil makanan sendiri kayanya tidak kuat," Kata saya menceritakan kondisi saya pada perawat di nurse station.
|
Sejumlah pasien dirawat di ruang HCU (Health Care Unit) termasuk saya di RSDC di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Segera setelah saya melapor, akhirnya saya mendapat pemeriksaan. Cek darah dilakukan, dokter datang memeriksa saya dengan seksama. Tak lama, saya dipindahkan ke ruang HCU (Health Care Unit) di lantai dua. Di dalam ruang tersebut sudah ada empat orang lain yang juga dirawat.
|
Saya di ruang HCU (Health Care Unit) RSDC di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Perawat) |
Nah ini yang saya harapkan dari kemarin, saya diinfus dan mendapat perawatan intensif, sekitar lima hari saya dirawat di HCU. Obat-obatan dan vitamin dimasukkan melalui selang infus. Yang saya pikirkan waktu itu lebih bukan karena saya terinfeksi covid19 tapi saya ingin thypus saya segera hilang dulu karena kondisi saya lemah karena typhus ini. Menurut dokter, saya terinfeksi Covid-19 dalam kategori ringan.
Di HCU ada kejadian mengejutkan, hari Sabtu (19/9) tiba-tiba petugas medis masuk berbondong-bondong banyak sekali, saya pikir saya mendapat kunjungan dokter spesialis karena beberapa hari sebelumnya saya juga dikunjungi oleh dokter spesialis untuk memeriksa kondisi terakhir saya.
Tumben kali ini rombongan isinya perawat semua, tiba-tiba mereka menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" kepada saya. Sontak saya kaget, karena hari ulang tahun saya sudah lewat sehari dan juga memang saya tak biasa merayakan ulang tahun. Saya hanya bisa tersenyum tersipu sekaligus terharu pada petugas medis di sini.
Di sela kesibukannya mereka masih sempat memberikan kejutan di hari ulang tahun saya. Mereka membuatkan saya gambar kue ulang tahun di selembar kertas dan memberikannya kepada saya. Ini menjadi hal yang paling manis yang terjadi sepanjang tahun 2020 yang suram ini. "Terima kasih kakak-kakak perawat,"Kata saya kepada semua perawat.
|
Pemandangan dari lantai 14 tower 6, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Senin (21/9) saya dinyatakan sudah lebih kuat dan sembuh dari typhus, saya harus keluar dari HCU dan pindah ke ruang isolasi. Saya sempat takut karena saya trauma pada hari pertama datang di RSDC Wisma Atlet Kemayoran ini saya dalam kondisi lemah dan butuh perawatan. Saya sempat menolak dan ingin tetap di HCU saja, karena jika terjadi sesuatu dengan kesehatan saya, saya bisa segera ditangani. Namun petugas medis menjelaskan kepada saya bahwa kondisi saya sudah cukup kuat sehingga saya harus pindah ke ruang isolasi. Selain itu HCU ini pasti juga akan dipakai oleh pasien yang membutuhkan.
Saya tidak bisa egois, saya harus pindah. "Baiklah saya pindah ke lantai berapa Suster?," Tanya saya. Saya kemudian diantarkan ke lantai 14 masih di tower yang sama. Kali ini saya menempati kamar dengan 1 ranjang, jadi saya tidak khawatir dicampur dengan pasien lain. Karena ada kemungkinan jika saya menempati kamar yang isi 2 ranjang, jika memang penuh bisa jadi kamar yang isi 2 ranjang tersebut akan diisi semua.
|
Saya di ruang isolasi lantai 14 tower 6, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Hari-hari di ruang isolasi saya mulai, aktifitas saya kebanyakan rebahan karena tidak diijinkan untuk keluar gedung. Pun juga saya menghindari kontaminasi dari pasien lain jadi saya lebih pilih di kamar isolasi saja.
Akhirnya hari yang dinanti itu ditunggu, hari Selasa (22/9) saya dijadwalkan untuk melakukan swab test, hasil dari tes ini akan menentukan pasien boleh pulang atau tidak. Sebenarnya saya takut melakukan swab test karena rasanya tidak nyaman saat diambil sampel di hidung. Tapi tetap saja ini harus saya lakukan karena saya ingin segera pulang.
|
Pemandangan dalam gedung di lantai 14 tower 6, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Tak lama mengantri saya sudah melakukan swab test, hasil akan keluar dua hingga tiga hari ke depan. Sembari menunggu saya menyibukkan diri, salah satunya menulis blog ini. Kadang juga saya memantau grup whatsapp pasien di lantai 14. Saya heran beberapa pasien sering mengeluh dan komplain dengan keadaan, entah itu keadaan kamar atau masalah kecil yang masih bisa ditangani sendiri, mereka rewel sekali di grup. Sebaiknya memang tidak merepotkan tenaga medis di sini, karena kerap kali saya lihat mereka tidak sempat istirahat di nurse station.
Saya suka hilang respek dengan orang-orang yang menganggap jika pandemi ini adalah konspirasi elit global yang kerap kali digaungkan oleh beberapa pesohor di negeri ini dan para pengikutnya. Bahkan juga kerabat dan teman saya ada yang menganggap bahwa Covid-19 adalah tipu-tipu nakal Rumah Sakit.
Saya sudah acap kali masuk ruang isolasi tahu bagaimana tenaga medis berjibaku berjuang menumpas virus ini, tak sedikit mereka yang terpapar. Berbulan-bulan berjuang di medan tempur dan tidak bisa pulang bertemu keluarga. Jenuh dan bosan karena sepulang mereka bertugas tidak bisa lagi berkumpul dengan teman dan keluarga. Banyak juga yang mencibir bilang itu sudah resiko dari pekerjaan yang mereka pilih.
Saya suka geram sama orang-orang seperti ini, seperti tidak ada empati kepada tenaga medis. Mereka suka berkomentar dengan hal yang mereka tak sepenuhnya pahami. Bukan memberi solusi tapi malah kadang menambah runyam masalah. Ini adalah wabah virus Covid-19 pertama yang dihadapi seluruh manusia di planet ini. Semua berusaha yang terbaik untuk bisa mengatasi pageblug termasuk pemerintah kita tapi apa daya, semua hal yang pertama pasti menemui banyak masalah dan sering terjadi kesalahan, semua masih coba-coba atau trial and error.
Tugas anda yang masih sehat hanya harus patuh pada anjuran pemerintah untuk menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Kita harus kompak dan bahu membahu untuk bisa menuntaskan pageblug ini. Apa yang kita lakukan hari ini akan jadi sejarah dan catatan penting bagi pencegahan wabah di masa yang akan datang untuk generasi selanjutnya. Berikan catatan terbaik agar mereka bisa belajar dan melalui wabah yang mungkin akan terjadi lagi di masa depan dengan belajar dari masa sekarang.
|
Petugas medis sedang berkeliling ke ruang isolasi pasien di lantai 14 tower 6, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
7 hari berlalu hasil swab tak kunjung keluar, banyak pasien yang komplain karena hasil swab kami tanggal 22 September belum keluar sementara swab test yang dilakukan tanggal 25 September sudah ada hasil, bahkan beberapa di antaranya sudah pulang. Entah apa masalahnya petugas medis tidak bisa menjelaskan dengan gamblang. Akhirnya diputuskan untuk swab test ulang.
Kamis (1/10) kami rombongan swab tanggal 22 September dapat giliran swab ulang. Banyak sekali antrian untuk melakukan tes usap ini. Saat sedang mengantri saya dihampiri salah satu petugas medis. Rupanya nama saya belum terdaftar pada swab test kali ini. Rasanya mau marah tapi saya hanya bisa mencoba maklum karena mungkin saking banyaknya pekerjaan, nama saya jadi terlewat dan belum terdaftar.
Esoknya Jumat (2/10) saya mendapat giliran untuk melakukan swab test, kali ini antrian tidak sepanjang kemarin. Tak perlu waktu lama saya sudah melakukannya meskipun saya ketakutan untuk swab test. Saya berharap hasilnya segera negatif karena saya sudah ingin sekali kembali bekerja, Ekspedisi ke pelosok negeri menunggu saya.
Alhamdulillah Minggu (4/10) hasil sudah keluar dan saya dinyatakan negatif hasil dari swab test dua hari lalu. Akhirnya saya diijinkan untuk pulang menghirup udara bebas, senang sekali rasanya bak burung yang dikurung seumur hidupnya di dalam sangkar akhirnya bisa menikmati kebebasan.
|
Pemandangan dari ruang isolasi lantai 14 tower 6, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. (photo by: Wildan Indrawan) |
Dari pengalaman ini saya mendapat pelajaran berharga, karena saya pecinta binatang saya semakin mengutuk keras manusia yang memelihara hewan dengan cara mengurung. Itu menjadi siksaan bagi hewan-hewan tersebut, karena saya yang harus diisolasi selama 21 hari ini saja merasa bosan dan tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hewan yang dikurung seumur hidupnya.
Bagi yang terjangkiti virus ini jangan pernah merasa bahwa ini aib, semua orang dari berbagai kalangan bisa terinfeksi. Jangan beranggapan bahwa anda akan menjadi pesakitan yang harus dikucilkan, yang masih sehat pun jangan berlaku buruk kepada pasien ataupun tenaga medis yang sedang berkutat dengan virus ini. Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif menguasai kita agar imunitas tubuh kita tetap prima untuk melawan virus covid-19.
Sekian cerita pengalaman saya diisolasi di RSDC Wisma Atlet Kemayoran Jakarta, semoga semakin bisa meningkatkan kewaspadaan kita terhadap paparan virus dengan menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah. Semoga kita juga bisa saling menghargai sesama dan mari kita memberikan sumbangsih kita untuk ikut berperan menghentikan pageblug ini dengan saling bahu membahu untuk kompak pada apa yang sudah diinstruksikan pemerintah.
Untuk tenaga medis di seluruh dunia, terima kasih tak terhingga saya ucapkan. Tetap semangat berjuang dan jangan putus asa! Jasamu Abadi!!!
Luarbiasa.mas ku hebaat dlm menulisk di blok ini
BalasHapusBlog hehe. Maturnuwun sanget ππΌπ
Hapus