Senin, 04 Mei 2015

Dua Abad Tambora Menyapa Dunia

Seorang pengunjung berusaha mendekati hewan ternak untuk diabadikan melalui kamera foto di padang rumput Doro Ncanga, Dompu. (photo by : Wildan Indrawan)   
Sebuah gunung yang menjadi bagian dari sejarah letusan gunung dunia, terletak di Nusa Tenggara Barat. Gunung Tambora, sebagian berada di Kabupaten Bima dan sebagian lainnya berada di Kabupaten Dompu. Tambora menurut cerita rakyat berasal dari kata Lakambore (bahasa Bima) yang artinya "mau kemana?". Ada pula yang menyebutnya berasal dari dua kata yaitu "ta" yang berarti mengajak dan "mbora" yang artinya menghilang, kemudian maknanya diartikan sebagai "mengajak menghilang".

Kaldera Gunung Tambora diambil dari puncak gunung ini via jalur Doro Ncanga. (photo by : SKBV Yansa)
Gunung tambora meletus pada tahun 1815 silam, sebelum meletus gunung ini menjadi salah satu gunung tertinggi di Indonesia setelah puncak Cartenz di Papua dengan ketinggian 4300 mdpl. Letusan dahsyat membuat Tambora kehilangan puncaknya dan hanya menyisakan setinggi 2851 mdpl dan terbentuk kaldera selebar hampir 8 km dengan kedalaman sekitar 800 m. Kaldera ini menjadi salah satu kaldera terbesar yang masih aktif di dunia.
Matahari tenggelam di balik puncak Gunung Tambora. (photo by : SKBV Yansa)
Letusan gunung ini terdengar hingga 2600 km, abu vulkanik tersebar hingga pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Abu vulkanik ini bahkan menyelimuti Pulau Bali dan mematikan vegetasinya. Sekitar 90 ribu jiwa tewas akibat bencana dahsyat ini, tiga kerajaan di Bima pada masa itu harus hilang.

Iklim dunia pun berubah, pada saat itu terjadi musim dingin yang berkepanjangan. Tercatat dalam sejarah Eropa, Napoleon Bonaparte harus mengalami kekalahan perang dari Inggris dan Prussia di Waterloo akibat perubahan iklim ini. Tentaranya tidak mampu melawan hadangan cuaca buruk ini akibat tanah berselimutkan salju dan abu tebal akibat letusan Tambora menghalangi jarak pandang mereka saat bertempur.

Selain itu, hujan tanpa henti selama delapan minggu mengakibatkan epidemi tifus yang menewaskan hingga 65 ribu jiwa di Inggris. Gagal panen terjadi di beberapa negara di Asia dan Eropa sehingga menimbulkan bencana kelaparan dan memicu kerusuhan.

Dua abad sudah Tambora mengguncang dunia dengan letusannya, kini Tambora dikukuhkan sebagai Taman Nasional oleh Presiden RI, Joko Widodo pada 11 April 2015 bertepatan pada hari meletusnya gunung ini 200 tahun silam. Hal ini diharapkan menjadi titik tolak kebangkitan pariwisata di kawasan Taman Nasional Gunung Tambora.
 
Padang rumput yang luas menjadi pemandangan awal pada saat melintasi jalur Doro Ncanga. (aerial photo by : Wildan Indrawan)
Wisata treking, offroad, dan petualangan menjadi daya tarik wisatawan untuk menjelajah alam Tambora. Untuk mendaki Gunung Tambora ada beberapa jalur yang bisa dilalui pengunjung. Jalur yang paling populer adalah jalur melalui Desa Pancasila yang berada di sebelah barat gunung ini. Jalur Kawinda Toi di sebelah utara, jalur Piong di sebelah timur, serta jalur dari desa Doro Peti di sebelah selatan.
Salah satu mobil dobel gardan yang menjadi sarana transportasi pengunjung untuk menikmati kawasan Taman Nasional Gunung Tambora ini harus berhenti karena masalah pada mesin. (photo by : Wildan Indrawan)   
Salah satu jalur yang cukup populer yaitu jalur dari Doro Ncanga. Jalur ini dikenal dengan medan off roadnya, pengunjung bisa menggunakan mobil dobel gardan untuk melintasi jalur ini. Pemandangan di jalur ini didominasi oleh padang rumput yang luas. Di awal perjalanan dari Pos Doro Ncanga akan dijumpai beberapa hewan ternak seperti kuda dan sapi yang berkeliaran bebas di padang rumput seperti tanpa pemilik. Hewan-hewan ini bukan tanpa pemilik, mereka sudah ditandai semacam cap di tubuh hewan tersebut, ada juga yang menggunakan kalung sebagai penanda. Sehingga pemilik tidak akan tertukar hewan ternaknya.

Jalur Doro Ncanga ini tergolong jalur yang cukup singkat untuk dilalui karena bisa menggunakan mobil dobel gardan. Harga sewa mobil dobel gardan di sini masih cukup mahal, karena masih sedikit pengunjung yang melewati jalur ini.

Pengunjung harus merogoh kocek hingga Rp. 4 juta untuk sekali trip pulang pergi dari Pos Doro Ncanga menuju Pos Tiga. Biasanya pengunjung akan diantar pada pagi hari menuju pos tiga dan selanjutnya pengunjung akan berjalan kaki dari pos tiga menuju puncak. Untuk menuju puncak hanya dibutuhkan paling lama dua jam berjalan kaki dengan kecepatan normal. Setelah dari puncak penyedia layanan mobil dobel gardan ini akan mengantarkan kembali ke Pos Doro Ncanga pada sore harinya.

Teluk Saleh terlihat dari atas jalur Doro Ncanga. (photo by : Wildan Indrawan)
Medan dari pos tiga menuju puncak tidak cukup terjal, namun pemandangan di sini cukup memanjakan mata. Dari atas bisa dilihat Teluk Saleh dan Pulau Moyo, hamparan sabana yang hijau berpadu dengan warna laut yang biru menjadi obyek foto beberapa fotografer yang menjelajah melalui jalur ini.
 
Bunga Edelweiss menjadi bunga yang akan selalu dijumpai di atas ketinggian 2000 mdpl. (photo by : Wildan Indrawan)
Bunga edelweiss juga banyak ditemui di ketinggian di atas 2000 meter. Selain itu juga terdapat bunga anggrek endemik tambora yang baru pertama kalinya ditemukan oleh Don Hasman, sang penjelajah alam yang telah mendaki gunung ini sebanyak sembilan kali untuk melakukan penelitian. Penjelajah berusia 75 tahun ini mengatakan kalau Anggrek ini baru pertama kali dia lihat sepanjang ia mendaki gunung ini sejak 2009.
Beberapa pendaki berjalan dari puncak Gunung Tambora melintasi padang rumput menuruni bukit menuju pos tiga. (photo by : Wildan Indrawan)    
Selain itu juga ada porter atau pengangkut beban yang bisa disewa jasanya, ongkos mereka per hari sebesar Rp. 200 ribu. Porter di sini tidak seperti di gunung-gunung wisata lainnya, mereka masih kurang berpengalaman dalam melayani tamu. Jasa mereka sebatas membawakan beban pengunjung hingga menuju puncak. Masih sedikitnya pengunjung di Tambora membuat mereka kurang memahami servis apa yang akan diberikan kepada pengunjung.
Don Hasman, seorang fotografer penjelajah yang mendedikasikan dirinya untuk membuat buku tentang sejarah Gunung Tambora. Ia mendaki gunung ini sebanyak sembilan kali sejak 2009. (photo by : Wildan Indrawan)
Yamin, salah satu porter yang kesehariannya bekerja sebagai petani ini mengaku pekerjaan sebagai porter hanya menjadi pekerjaan sampingan saja. “Saya cuma melayani tamu setahun tiga kali.” Ungkapnya. Dia menuturkan pengalamannya selama empat tahun menjadi porter pernah sekali membawa turis asing, dimana kesulitan bahasa asing menjadi kendala bagi para porter pada umumnya. Ia pun terpaksa harus menggunakan bahasa isyarat untuk saling memahami.

Pria yang bertempat tinggal di desa Doro Peti ini berharap dengan diresmikannya Tambora menjadi taman nasional ini bisa membuat jasanya sebagai porter akan dilirik pengunjung. Selain itu juga ia berharap diresmikannya Tambora menjadi taman nasional bisa berdampak positif terhadap perekonomian warga sekitar Tambora.


5 komentar:

  1. Blogmu apik mas,, Apalagi foto-fotonya.. Luar Biasak ! (y)

    BalasHapus
  2. ah samang ojo ngetjeee...aku masih pemula ngeblog je... :(
    samang cah blog ket sue je..mohon bimbinganipun ngarso dalem

    BalasHapus
  3. Lha nek samang anyaran ngeblog njuk sahaya niki nopo ndoro,, rung lahir :))

    Kulo ingkang nyuwun bimbinganipun nulis lan reporting... *sungkem

    BalasHapus
  4. foto-fotonya bagus. ayo ngeblog lagi!

    BalasHapus