Rabu, 17 Juli 2019

Memburu Setan di Raja Ampat

Setan Gamutu yang hanya bisa saya temukan di Misool, Raja Ampat Papua Barat. (Photo : Wildan Indrawan)
Kamu mau lihat setan?" tanya Mas Arif, teman saya. "Di Raja Ampat ada makhluk jadi-jadian," Tambahnya. Saya pun penasaran karena biasanya saya tidak terlalu peduli dengan hal mistis. Yang membuat saya penasaran adalah katanya setan ini bisa terlihat kasat mata tapi hanya bisa ditemui di kampung Folley di Misool, Raja Ampat Papua Barat.

Misool sendiri adalah salah satu pulau dari empat pulau besar di Kabupaten Raja Ampat selain Salawati, Waigeyo dan Batanta. Sebelumnya saya sudah pernah ke Misool untuk menyelam karena penasaran dengan keindahan alam bawah lautnya. Saya tak menyangka tempat seindah itu ada makhluk jadi-jadian yang katanya bisa dilihat secara langsung. 

Nugroho Arif Prabowo, atau biasa saya panggil Mas Arif adalah kawan lama saya, kami jarang berjumpa tapi masih selalu saling kontak hanya untuk sekedar diskusi tentang isu lingkungan. Ya, dia adalah salah satu aktivis lingkungan dari The Nature Conservancy Indonesia yang kebetulan ditugaskan di kawasan Indonesia timur, kali itu dia sedang tugas di Sorong. "Jadi, kapan mau ke Sorong?" tanyanya pada saya di telepon. "Siap Mas! segera merapat," Jawab saya dengan mantap, karena mendengar ceritanya itu saya ingin sekali segera melihat makhluk tersebut.


Sebelum berangkat saya mencari-cari informasi di Internet bagaimana wujud makhluk tersebut, namun tak kunjung menemukannya. Mas Arif juga tidak memberi tahu saya apa nama makhluk tersebut. Ah, saya tidak mau ambil pusing, langsung saja saya pesan tiket pesawat melalui situs jual beli tiket di internet. Saya membeli tiket pesawat dari Jakarta menuju Sorong. Jaman sekarang tidak terlalu sulit untuk berpergian keluar pulau. Banyak website yang menyediakan layanan pembelian tiket secara online,sehingga tak butuh waktu lama saya mendapatkan tiket perjalanan saya. 
Vihara Buddha Jayanti, menjadi ikon di kota Sorong. Kota terbesar di Papua Barat ini menjadi pintu gerbag menuju Raja Ampat. (Photo : Wildan Indrawan)
Sorong adalah pintu gerbang menuju kawasan yang disebut-sebut sebagai pecahan surga yang jatuh ke bumi, yaitu Raja Ampat. Di Sorong nanti saya janjian bertemu Mas Arif untuk kemudian berangkat bersama ke kampung Folley di Misool, Raja Ampat. Sekitar empat sampai lima jam waktu yang ditempuh dengan pesawat dari Jakarta menuju Sorong dengan sekali pemberhentian di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebagai generasi milenial, saya sudah barang tentu membekali diri dengan kamera dan beberapa gawai lainnya, lumayan buat menambah unggahan di media sosial kalau-kalau memang ketemu dengan setan yang kasat mata itu. Tak lupa saya membawa perlengkapan tidur sendiri karena di sana kami akan bermalam di rumah warga. 

Di Bandara Dominique Eduard Osok di Sorong saya dijemput Mas Arif. Lama sekali saya tak berjumpa pria asal Solo ini, sekarang dia memelihara brewok jadi saya sedikit pangling. "Sudah penasaran mau lihat setannya?" Tanyanya sambil terbahak. "Iya dong!" Jawab saya sambil mengernyitkan dahi bertanya-tanya kenapa dia tertawa. 

Tak lama kami langsung ke pelabuhan rakyat, Sorong untuk menyeberang ke Misool. Penyeberangan ke Misool bisa ditempuh menggunakan kapal ferry dengan jadwal seminggu tiga kali perjalanan. Waktu tempuh menuju kampung Folley ini sekitar lima jam perjalanan dengan tarif 250 ribu per orang. Pada saat itu tidak terlalu banyak penumpang yang akan berangkat ke Misool, karena biasanya penumpang akan penuh pada saat akhir pekan. 

Saya bersyukur bisa berpergian bukan di akhir pekan sehingga tidak harus berdesakan dengan penumpang lain. "Di sana nanti nggak ada sinyal internet ya,"Kata Mas Arif. "Wah, jadi ngga bisa update status dong nanti kalau lihat setannya," Canda saya. Beberapa daerah di Raja Ampat memang masih belum terjangkau sinyal internet termasuk kampung Folley ini.
Kampung Folley, Misool dipotret dari udara tempat di mana saya bermalam untuk menyaksikan festival Buka Sasi.
(Photo : Wildan Indrawan)
Sesampainya di Folley sudah ada Riko, warga setempat yang menyambut  kami berdua dengan hangat, dia pun mengajak kami ke rumahnya untuk menginap. "Apa benar di sini ada setan yang bisa dilihat langsung," Tanya saya pada Riko. Mas Arif dan Riko pun tertawa mendengar pertanyaan saya. "Ada Kaka, besok kita lihat sama-sama toh,"Jawab Riko sambil tertawa. Saya semakin penasaran dibuatnya.

Di rumah Riko kami disambut keluarganya, mereka memang sudah mempersiapkan kedatangan kami dengan menyiapkan masakan khas Indonesia timur yaitu papeda. Papeda ini dibuat dari sagu hasil dari hutan setempat, biasanya papeda dipasangkan dengan masakan ikan kuah kuning tapi kali ini saya cukup beruntung mendapat masakan spesial dari Mamanya Riko, yakni Lobster kuah santan. Nikmat sekali. "Kami ada dapat lobster tadi malam di laut, pas-pas toh buat lauk Mas Arif dan Wildan," Kata Mama. 

Sedap memang, membuat saya iri melihat mereka bisa makan seenak ini kapan saja. Mereka bisa memanfaatkan sumber daya dari alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, sedangkan saya harus ke restoran dulu untuk bisa menikmati makanan seperti ini.
Setan Gamutu yang hanya bisa saya temukan di Misool, Raja Ampat Papua Barat. (Photo : Wildan Indrawan)
"Jadi setan yang akan kita lihat besok itu adalah Setan Gamutu namanya,"Kata Mas Arif di sela-sela kami makan. "Setan ini akan bisa kamu lihat di perayaan Buka Sasi besok pagi," tambah Rico. Setan Gamutu ini rupanya makhluk yang dibuat oleh warga kampung Folley untuk menakuti orang-orang yang berniat menjarah hasil laut di kampung ini.

Sasi sendiri adalah praktik pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat dengan menutup pemanfaatan dan wilayahnya untuk jangka waktu tertentu. Buka Sasi kali ini diadakan pada bulan April. Nah untuk membuka sasi, ada rangkaian acara yang dimulai dengan ibadah doa bersama di gereja, dilanjutkan dengan membuang kakes atau persembahan berupa sirih pinang di wilayah sasi. 
Kegiatan doa bersama dilakukan warga kampung Folley sebelum membuka sasi. (Photo : Wildan Indrawan)
Warga kampung Folley di gereja setelah acara doa bersama untuk membuka sasi. (Photo : Wildan Indrawan)
Esoknya, pagi-pagi warga sudah berduyun-duyun berangkat ke gereja, saya pun turut serta ke gereja untuk melihat dimulainya prosesi buka sasi. Di gereja, pendeta dan warga berdoa bersama berharap hasil sasi tahun ini melimpah. Sasi di kampung Folley adalah sasi teripang, jadi dalam setahun di kampung ini warga dilarang untuk mengambil teripang dan hari inilah penantian warga berakhir.

Momen yang saya tunggu-tunggu akhirnya tiba, setelah doa bersama di gereja, parade budaya untuk merayakan buka sasi pun dimulai. Warga bersukacita memenuhi jalan utama di kampung ini. Triton ditiup untuk memanggil Setan Gamutu sekaligus menjadi penanda dimulainya parade budaya ini. Empat makhluk keluar dengan kostumnya yang unik, "Setan Gamutu!""Teriak saya. "Iya ini yang kamu cari jauh-jauh dari Jakarta," Kata Rico. Saya senang sekali bisa melihat langsung acara ini, kostum setan itu cukup unik. Gamutu atau ijuk menjadi bahan utama kostum setan ini, selain itu pelepah sagu dijadikan bahan untuk membuat topeng. Kostum ini perlambang para prajurit yang menjaga wilayah hutan dan laut dari gangguan musuh.
Setan Gamutu di parade budaya di kampung Folley dalam rangkaian acara Buka Sasi. (Photo : Wildan Indrawan)
Setan Gamutu ini menari dengan membawa senjata seperti busur, tombak, dan parang, mereka berkeliling kampung dengan diiringi musik suling dan tambur. "Ayo ikut menari," Rico mengajak saya ikut menari bersama warga yang mengikuti Setan Gamutu ini dari belakang. Seru sekali, baru kali ini saya melihat perayaan seperti ini. Sembari ikut riuh di keramaian saya tak lupa mengabadikan momen ini dengan kamera untuk kemudian nanti saya bagikan cerita dan pengalaman saya nanti di media sosial.

Bagi saya media sosial itu tidak hanya untuk memamerkan sesuatu tapi sebagai sarana untuk membagikan informasi yang bermanfaat seperti membagikan cerita pengalaman saya ini. Dengan membagikan cerita ini di media sosial saya ikut serta mempromosikan wisata Indonesia yang unik, menarik, sekaligus menambah wawasan.

Sekitar satu jam parade budaya ini berlangsung meriah, setelah itu tokoh adat melakukan ritual buang kakes di kawasan sasi. Ritual ini bertujuan meminta izin dan memberi persembahan kepada leluhur agar hasil sasi melimpah. Sirih dan pinang menjadi persembahan kepada para leluhur dengan cara dilarungkan di kawasan sasi teripang. Selain itu juga ada batang pohon yang ditancapkan di kawasan sasi sebagai penanda bahwa buka sasi sudah diresmikan.
Setelah Sasi dibuka, warga berbondong-bondong ke pantai untuk mencari Teripang. (Photo : Wildan Indrawan)
Setelah ritual selesai warga mulai bersiap-siap ke laut untuk menangkap teripang. Warga mulai bergerak ke laut pada saat matahari terbenam, karena pada malam hari air laut akan surut sehingga mereka bisa lebih mudah menangkap teripang. Untuk menangkap teripang pun ada aturannya, tidak sembarang teripang boleh ditangkap. Hanya teripang dengan ukuran paling kecil 15 centimeter yang boleh diambil, jika mendapat teripang yang lebih kecil dari ukuran yang ditetapkan, teripang harus dikembalikan ke laut untuk menjaga keberadaannya.

Warga yang mengambil teripang ke laut pun tidak boleh terjun ke laut, mereka harus menangkap teripang dari atas perahu. "Banyak sekali perahunya,"Kata saya takjub. Di bawah sinar bulan dan langit yang bertabur bintang, warga dengan mudah menemukan teripang di perairan kampung Folley ini, apalagi sudah setahun teripang di kawasan ini tidak diambil. "Mereka biasa menangkap teripang sampai pagi," Kata Mas Arif. 
 
Warga Folley menunjukkan teripang yang ditangkap pada malam sebelumnya. (Photo : Wildan Indrawan)
Teripang gosok menjadi hasil yang banyak ditangkap pada Buka Sasi tahun ini. (Photo : Wildan Indrawan)

Hasil dari panen teripang ini akan dijual kepada pengepul yang memang sudah siap membeli saat proses buka sasi ini selesai. Buka sasi berlangsung selama dua minggu dan setelahnya akan kembali dilakukan penutupan kawasan ini agar keberadaannya tetap lestari.

Sasi ibarat menjadi tabungan bagi warga selama setahun, alih-alih sambil menjaga alam tetap lestari mereka juga mendapat hasil yang melimpah dari alam. Mereka mempunyai filosofi jika alam dijaga maka alam akan menjaga mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar