Jumat, 22 September 2017

Sagu Hati dari Boti

(Tulisan ini sudah disunting dan terbit di Majalah National Geographic Traveler Indonesia edisi Agustus 2017.)

Masyarakat Suku Boti di depan rumah Lopo, mereka akan memberikan sambutan khusus bagi para tamu di depan pintu gerbang masuk desa. (Photo by : Wildan Indrawan)
Mobil dobel gardan ini membawa saya perlahan menaiki bukit yang terjal, hingga selepas di tikungan kami dikejutkan oleh sebuah truk yang berhenti di tengah jalan. “Awas! Mundur dulu, ini truk as rodanya patah,” Ujar sopir truk menghentikan perjalanan kami. Jalan yang kami lalui untuk menuju desa Boti ini hanya seukuran satu mobil lebih sedikit. Terpaksa kami harus menunggu mobil ini selesai diperbaiki.


Sekitar setengah jam harus saya tempuh melalui jalan aspal dari kota Soe, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan sebelum saya sampai jalanan tanah yang terjal. Jalan tanah ini seakan menjadi pintu gerbang untuk menuju sebuah desa dengan kebudayaan yang unik serta masih menjaga adat dan kepercayaannya yaitu Kampung Suku Boti. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini saya bersama Don Dacosta, pegawai di Dinas Pariwisata Kabupaten TTS menuju ke pemukiman Suku Boti. Suku yang senantiasa hidup dalam kesederhanaanya di era serba modern ini.
Desa Boti Kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan dilihat dari udara. Desa ini dihuni 76 kepala  keluarga di bawah kepemimpinan Raja Nama Benu. (Photo by : Wildan Indrawan)
Saya dan Don, melintasi jalanan berliku dengan tebing batu cadas warna putih yang bisa longsor kapan saja menimpa mobil dobel gardan yang kami tumpangi. Jalanan nan terjal ini membuat mobil tua kami meraung mengeluarkan tenaganya dengan susah payah. Ditambah cuaca yang cukup terik membuat saya harus sering-sering menyeka keringat di wajah saya.

Namun panas terik ini tak menyurutkan semangat anak-anak sekolah yang tak sengaja saya jumpai di jalan, mereka berlari mengikuti mobil kami. Mereka dengan langkahnya yang ringan berlari melintasi jalanan terjal berdebu di belakang mobil yang sesekali mengeluarkan asap knalpotnya. Anak-anak Timor ini kuat berjalan jauh dengan medan berat seperti ini setiap hari hanya untuk mengenyam pendidikan. Meskipun begitu, raut muka mereka yang selalu tersenyum riang ini membuat saya yakin, kelak pendidikan yang mereka lalui ini akan mengangkat derajat warga di sini.

“Kita berhenti di ujung tebing situ,” Kata Don kepada sopir kami. “ini nggak apa-apa pak Don?” kata saya saat melihat pinggiran jurang yang menganga di depan saya. Rupanya dari ujung pinggiran tebing ini saya bisa melihat hamparan perbukitan yang ditumbuhi pepohonan rindang. Tak menunggu lama, saya langsung mengabadikan keindahan panorama ini.

Memang sepanjang jalur menuju desa Boti ini saya tak henti-hentinya terbius indahnya panorama perbukitan di sini. Awalnya saya berpikir akan melewati bukit tandus dan kering sepanjang jalan. “Sekarang sedang musim hujan, jadi Anda tidak akan melihat bukit yang kering,” ujar Don kepada saya. 
Ma’u atau Beti adalah sebutan baju kaum pria. Bahannya bakunya terbuat dari kapas dan pewarna alami yang didapatkan dari alam sekitar. (Photo by : Wildan Indrawan)  
Setelah sekitar dua jam, kami sampai di gerbang kampung desa Boti. Desa ini terbagi menjadi Boti dalam dan Boti luar, seperti halnya di Badui dengan berbagai peraturan yang lebih saklek di Badui dalam. Salah satunya yang terlihat jelas adalah, warga kampung Boti dalam masih memakai baju hasil tenunan mereka sendiri, sementara warga Boti luar sudah memakai baju buatan pabrik.  Selain itu juga warga Boti luar lebih fasih berbahasa Indonesia daripada warga Boti dalam.

Di pintu gerbang, senyum merah merekah menyambut kami dengan ramah. Ya, Mulut mereka selalu merah karena mengunyah pinang dan daun sirih. Kami disambut dengan seremonial serta kata sambutan menggunakan bahasa setempat yang saya tidak mengerti. Selendang khas hasil tenunan mereka pun disematkan ke leher kami sebagai tanda bahwa kami diterima dengan baik.

Para wanita menenun untuk kemudian dijadikan baju sehari-hari mereka. Bahannya terbuat dari kapas kemudian melalui beberapa proses hingga menjadi pakaian. (Photo by : Wildan Indrawan)

Kain tenun ini juga yang mereka pakai untuk baju sehari-hari. Terbuat dari kapas yang dipintal dan ditenun hingga menjadi kain yang berkualitas. “Di komunitas ini, baju para pria disebut Ma’u atau Beti, sedangkan Tais sebutan untuk baju wanita.” Papar Don kepada saya. Pakaian ini memiliki corak yang hampir sama yaitu dengan warna dasar putih dengan motif garis-garis.

Komunitas yang mendiami perkampungan ini hanya beranggotakan 76 kepala keluarga, tak banyak memang mengingat tempat ini letaknya hanya 40 km ke arah timur dari kota Soe. Dipimpin oleh Nama Benu, sang Raja yang menuruni tahta Nune Benu yang telah wafat tahun 2005 silam. Don bercerita kepada saya, “Keturunan dari Nune Benu ini ada empat orang, dua orang di antaranya tidak menikah, yakni Nama Benu dan Molo Benu.” Cerita Don kepada saya. “Sedangkan si sulung keluar dari Suku Boti dalam lantaran ia menikah dengan wanita di luar kalangan mereka.” Imbuhnya.

Komunitas yang berjumlah 316 jiwa ini tidak menganut salah satu agama yang diakui di republik ini, mereka menganut kepercayaan Uis Pah Ma Uis Neno, di mana Suku Boti meyakini ada penguasa jagat dan ada penguasa langit. Namun keseharian mereka tak jauh dari norma agama yang berlaku di negeri ini. “tidak ada pencurian, perkelahian, ataupun hal buruk lainnya di sini.” Ungkap Don. Ia menambahkan, bahwa hal ini sudah mereka lakukan sejak jaman nenek moyang mereka.

Keramahan dan ketulusan mereka dapat terlihat dari senyum yang selalu menghiasi dalam setiap percakapan saya. Meskipun mereka tidak fasih berbahasa Indonesia namun mereka cukup mengerti apa yang saya katakan. Biasanya wisatawan yang datang ke sini harus didampingi oleh guide yang paham bahasa setempat. Don Dacosta ini sangat membantu saya dalam memahami percakapan orang suku Boti. Biasanya percakapan akan diawali dengan mengunyah pinang dan daun sirih, hal ini sangat lazim dilakukan seperti halnya merokok pada saat mengobrol bagi sebagian orang pada umumnya.
Raja Boti, Usif Nama Benu, di tengah warganya. (Photo by: Wildan Indrawan)
Perbincangan saya dengan sang raja, Nama Benu, kami lakukan di rumah Lopo. Rumah ini adalah sebuah rumah khusus bagi kaum pria suku Boti. Rumah ini berbentuk kerucut beratapkan dari rumput ilalang kering beralaskan batu yang ditumpuk setinggi 50 cm. “Rumah Lopo ini mencerminkan kejantanan kaum Pria karena bentuknya yang terbuka setengah,” Ujar Nama Benu kepada saya. Atapnya tidak sampai lantai dasar. Beda dengan rumah wanita, atap rumah ini tertutup hingga tanah dan mempunyai satu pintu. “Ini artinya kaum wanita lebih menutup diri, karena mereka menjaga sopan santun,” tambahnya.

Masyarakat Boti antara pria dan wanita tidak tinggal seatap, para wanita tinggal di rumah Ume Kbubu. Pintu rumah ini sangat rendah sehingga mengharuskan orang yang masuk harus menunduk. “Ini menandakan bahwa masyarakat suku Boti ini menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun,” Don kembali menjelaskan. Rumah ini juga dipergunakan untuk memasak bagi para wanita. Bahkan juga untuk melahirkan mereka lakukan di rumah Ume Kbubu ini.

Para wanita mengambil biji jagung kemudian ditaruh di Kulat., adalah sejenis nampan yang terbuat dari daun lontar sebagai wadah jagung setelah dikuliti. Kegiatan ini dilakukan oleh para wanita. (Photo by : Wildan Indrawan)   

Masyarakat suku Boti sangat mengandalkan alam untuk mencukupi kebutuhannya. Baju hingga pewarna pakaian mereka dapatkan semua dari alam. Untuk mencukupi pangan pun, di depan rumah-rumah ini terdapat pohon jagung, cabai, hingga kopi. Sampai tidak percaya, saya harus bertanya kepada Seof  Liukae, seorang perempuan Boti tamatan SMP yang cukup mengerti Bahasa Indonesia. “Kami makan jagung sebagai pengganti nasi, daging untuk lauk kami bisa ambil dari hewan ternak,” katanya. “Kalau krupuk ini anda beli dari luar?” Tanya saya. “Krupuk ini kami olah dari singkong dan digoreng menggunakan minyak kelapa,” jelasnya.

Masyarakat Boti adalah kaum yang bersahaja, rendah hati, dan cinta terhadap alam,” papar Don. Mereka menjaga alam tetap lestari karena mereka meyakini dengan menjaga alam, niscaya alam pun akan menjaga mereka. “Tidak heran mereka sangat bergantung pada alam sekitarnya,” gumam saya.

Raja Boti, Usif Nama Benu setelah memimpin penanaman pohon beringin di sepanjang jalan menuju desa Boti. (Photo by : Wildan Indrawan)   

Saya melihat siang itu Warga suku Boti ini berduyun-duyun membawa batang pohon yang dipotong dari pohon beringin. Batang pohon ini rencananya mereka tanam di tanah yang masih kosong. “Batang beringin ini apa bisa hidup di tanah kering ini?” Tanya saya. Pertanyaan saya terjawab ketika saya ditunjukkan pohon beringin besar yang terletak tak jauh dari desa mereka. Pohon beringin ini ditanam sekitar 20 tahun silam, menurut cerita mereka, dulu tanah di desa ini sangat gersang dan tidak banyak tumbuhan. Sekarang mereka bisa mencukupi kebutuhan mereka dari alam sekitar

Ada yang mencuri perhatian saya dari penampilan pria di sini, mereka rata-rata memiliki rambut panjang dan digelung. “Itu konde namanya,” kata Don lagi. “Mereka hanya sekali memotong rambut mereka pada saat masih bayi.” Imbuhnya.  Pria yang sudah menikah di  desa ini memiliki rambut panjang dan mereka tidak pernah memotongnya. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga tradisi dan kepercayaan mereka.

Para wanita menggunakan Nai Oe untuk mengambil air. Mereka menaruh periuk tersebut di atas kepala untuk membawanya. (Photo by : Wildan Indrawan)   

Desa Suku Boti ini sudah dikukuhkan menjadi destinasi wisata budaya di Kabupaten Timor  Tengah Selatan. Ada sekitar 400 pengunjung sepanjang tahun 2016 lalu. Masyarakat kampung ini pun sudah menyediakan tempat menginap untuk mendukung desa mereka jadi tempat wisata. Uniknya, mereka tidak menetapkan harga untuk sewa kamar di sini. Itu yang menjadi masalah buat saya lantaran pelayanan yang mereka berikan kepada saya dan Don sungguh luar biasa. Harga berapa yang harus saya bayar untuk mengganti sajian makanan dan tempat menginap yang cukup nyaman ini.

Kampung Boti dengan kebersahajaannya membuka mata saya bahwa ada nilai-nilai luhur yang bisa saya petik. Menjaga tradisi untuk menjaga alam tetap lestari dengan hidup yang tidak berlebihan adalah sebuah konsep hidup yang ramah lingkungan untuk ikut serta dalam usaha penyelamatan bumi dari kerusakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar