Mobil
dobel gardan ini membawa saya perlahan menaiki bukit yang terjal, hingga
selepas di tikungan kami dikejutkan oleh sebuah truk yang berhenti di tengah
jalan. “Awas! Mundur dulu, ini truk as rodanya patah,” Ujar sopir truk
menghentikan perjalanan kami. Jalan yang kami lalui untuk menuju desa Boti ini
hanya seukuran satu mobil lebih sedikit. Terpaksa kami harus menunggu mobil ini
selesai diperbaiki.
Sekitar
setengah jam harus saya tempuh melalui jalan aspal dari kota Soe, Ibukota
Kabupaten Timor Tengah Selatan sebelum saya sampai jalanan tanah yang terjal.
Jalan tanah ini seakan menjadi pintu gerbang untuk menuju sebuah desa dengan kebudayaan
yang unik serta masih menjaga adat dan kepercayaannya yaitu Kampung Suku Boti.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini saya bersama Don Dacosta, pegawai di
Dinas Pariwisata Kabupaten TTS menuju ke pemukiman Suku Boti. Suku yang
senantiasa hidup dalam kesederhanaanya di era serba modern ini.
Desa Boti Kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan dilihat dari udara. Desa ini dihuni 76 kepala keluarga di bawah kepemimpinan Raja Nama Benu. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Saya
dan Don, melintasi jalanan berliku dengan tebing batu cadas warna putih yang
bisa longsor kapan saja menimpa mobil dobel gardan yang kami tumpangi. Jalanan
nan terjal ini membuat mobil tua kami meraung mengeluarkan tenaganya dengan
susah payah. Ditambah cuaca yang cukup terik membuat saya harus sering-sering
menyeka keringat di wajah saya.
Namun
panas terik ini tak menyurutkan semangat anak-anak sekolah yang tak sengaja saya
jumpai di jalan, mereka berlari mengikuti mobil kami. Mereka dengan langkahnya yang
ringan berlari melintasi jalanan terjal berdebu di belakang mobil yang sesekali
mengeluarkan asap knalpotnya. Anak-anak Timor ini kuat berjalan jauh dengan
medan berat seperti ini setiap hari hanya untuk mengenyam pendidikan. Meskipun
begitu, raut muka mereka yang selalu tersenyum riang ini membuat saya yakin,
kelak pendidikan yang mereka lalui ini akan mengangkat derajat warga di sini.
“Kita
berhenti di ujung tebing situ,” Kata Don kepada sopir kami. “ini nggak apa-apa pak Don?” kata saya saat
melihat pinggiran jurang yang menganga di depan saya. Rupanya dari ujung
pinggiran tebing ini saya bisa melihat hamparan perbukitan yang ditumbuhi
pepohonan rindang. Tak menunggu lama, saya langsung mengabadikan keindahan
panorama ini.
Memang
sepanjang jalur menuju desa Boti ini saya tak henti-hentinya terbius indahnya
panorama perbukitan di sini. Awalnya saya berpikir akan melewati bukit tandus
dan kering sepanjang jalan. “Sekarang sedang musim hujan, jadi Anda tidak akan
melihat bukit yang kering,” ujar Don kepada saya.
Ma’u atau Beti adalah sebutan baju kaum pria. Bahannya bakunya terbuat dari kapas dan pewarna alami yang didapatkan dari alam sekitar. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Setelah
sekitar dua jam, kami sampai di gerbang kampung desa Boti. Desa ini terbagi
menjadi Boti dalam dan Boti luar, seperti halnya di Badui dengan berbagai
peraturan yang lebih saklek di Badui dalam. Salah satunya yang terlihat jelas
adalah, warga kampung Boti dalam masih memakai baju hasil tenunan mereka
sendiri, sementara warga Boti luar sudah memakai baju buatan pabrik. Selain itu juga warga Boti luar lebih fasih
berbahasa Indonesia daripada warga Boti dalam.
Di
pintu gerbang, senyum merah merekah menyambut kami dengan ramah. Ya, Mulut mereka
selalu merah karena mengunyah pinang dan daun sirih. Kami disambut dengan seremonial
serta kata sambutan menggunakan bahasa setempat yang saya tidak mengerti. Selendang
khas hasil tenunan mereka pun disematkan ke leher kami sebagai tanda bahwa kami
diterima dengan baik.
Para wanita menenun untuk kemudian dijadikan baju sehari-hari mereka. Bahannya terbuat dari kapas kemudian melalui beberapa proses hingga menjadi pakaian. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Kain
tenun ini juga yang mereka pakai untuk baju sehari-hari. Terbuat dari kapas
yang dipintal dan ditenun hingga menjadi kain yang berkualitas. “Di komunitas
ini, baju para pria disebut Ma’u atau Beti, sedangkan Tais sebutan untuk baju wanita.”
Papar Don kepada saya. Pakaian ini memiliki corak yang hampir sama yaitu dengan
warna dasar putih dengan motif garis-garis.
Komunitas
yang mendiami perkampungan ini hanya beranggotakan 76 kepala keluarga, tak
banyak memang mengingat tempat ini letaknya hanya 40 km ke arah timur dari kota
Soe. Dipimpin oleh Nama Benu, sang Raja yang menuruni tahta Nune Benu yang
telah wafat tahun 2005 silam. Don bercerita kepada saya, “Keturunan dari Nune
Benu ini ada empat orang, dua orang di antaranya tidak menikah, yakni Nama Benu
dan Molo Benu.” Cerita Don kepada saya. “Sedangkan si sulung keluar dari Suku
Boti dalam lantaran ia menikah dengan wanita di luar kalangan mereka.”
Imbuhnya.
Komunitas
yang berjumlah 316 jiwa ini tidak menganut salah satu agama yang diakui di
republik ini, mereka menganut kepercayaan Uis Pah Ma Uis Neno, di mana Suku
Boti meyakini ada penguasa jagat dan ada penguasa langit. Namun keseharian
mereka tak jauh dari norma agama yang berlaku di negeri ini. “tidak ada
pencurian, perkelahian, ataupun hal buruk lainnya di sini.” Ungkap Don. Ia
menambahkan, bahwa hal ini sudah mereka lakukan sejak jaman nenek moyang
mereka.
Keramahan
dan ketulusan mereka dapat terlihat dari senyum yang selalu menghiasi dalam
setiap percakapan saya. Meskipun mereka tidak fasih berbahasa Indonesia namun
mereka cukup mengerti apa yang saya katakan. Biasanya wisatawan yang datang ke
sini harus didampingi oleh guide yang paham bahasa setempat. Don Dacosta ini
sangat membantu saya dalam memahami percakapan orang suku Boti. Biasanya
percakapan akan diawali dengan mengunyah pinang dan daun sirih, hal ini sangat
lazim dilakukan seperti halnya merokok pada saat mengobrol bagi sebagian orang
pada umumnya.
Raja Boti, Usif Nama Benu, di tengah warganya. (Photo by: Wildan Indrawan) |
Perbincangan
saya dengan sang raja, Nama Benu, kami lakukan di rumah Lopo. Rumah ini adalah
sebuah rumah khusus bagi kaum pria suku Boti. Rumah ini berbentuk kerucut
beratapkan dari rumput ilalang kering beralaskan batu yang ditumpuk setinggi 50
cm. “Rumah Lopo ini mencerminkan kejantanan kaum Pria karena bentuknya yang
terbuka setengah,” Ujar Nama Benu kepada saya. Atapnya tidak sampai lantai
dasar. Beda dengan rumah wanita, atap rumah ini tertutup hingga tanah dan
mempunyai satu pintu. “Ini artinya kaum wanita lebih menutup diri, karena mereka
menjaga sopan santun,” tambahnya.
Masyarakat
Boti antara pria dan wanita tidak tinggal seatap, para wanita tinggal di rumah
Ume Kbubu. Pintu rumah ini sangat rendah sehingga mengharuskan orang yang masuk
harus menunduk. “Ini menandakan bahwa masyarakat suku Boti ini menjunjung
tinggi tata krama dan sopan santun,” Don kembali menjelaskan. Rumah ini juga
dipergunakan untuk memasak bagi para wanita. Bahkan juga untuk melahirkan
mereka lakukan di rumah Ume Kbubu ini.
Masyarakat
suku Boti sangat mengandalkan alam untuk mencukupi kebutuhannya. Baju hingga
pewarna pakaian mereka dapatkan semua dari alam. Untuk mencukupi pangan pun, di
depan rumah-rumah ini terdapat pohon jagung, cabai, hingga kopi. Sampai tidak percaya,
saya harus bertanya kepada Seof Liukae, seorang
perempuan Boti tamatan SMP yang cukup mengerti Bahasa Indonesia. “Kami makan
jagung sebagai pengganti nasi, daging untuk lauk kami bisa ambil dari hewan
ternak,” katanya. “Kalau krupuk ini anda beli dari luar?” Tanya saya. “Krupuk
ini kami olah dari singkong dan digoreng menggunakan minyak kelapa,” jelasnya.
Masyarakat
Boti adalah kaum yang bersahaja, rendah hati, dan cinta terhadap alam,” papar
Don. Mereka menjaga alam tetap lestari karena mereka meyakini dengan menjaga
alam, niscaya alam pun akan menjaga mereka. “Tidak heran mereka sangat
bergantung pada alam sekitarnya,” gumam saya.
Raja Boti, Usif Nama Benu setelah memimpin penanaman pohon beringin di sepanjang jalan menuju desa Boti. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Saya
melihat siang itu Warga suku Boti ini berduyun-duyun membawa batang pohon yang
dipotong dari pohon beringin. Batang pohon ini rencananya mereka tanam di tanah
yang masih kosong. “Batang beringin ini apa bisa hidup di tanah kering ini?”
Tanya saya. Pertanyaan saya terjawab ketika saya ditunjukkan pohon beringin
besar yang terletak tak jauh dari desa mereka. Pohon beringin ini ditanam
sekitar 20 tahun silam, menurut cerita mereka, dulu tanah di desa ini sangat
gersang dan tidak banyak tumbuhan. Sekarang mereka bisa mencukupi kebutuhan
mereka dari alam sekitar
Ada
yang mencuri perhatian saya dari penampilan pria di sini, mereka rata-rata
memiliki rambut panjang dan digelung. “Itu konde namanya,” kata Don lagi. “Mereka
hanya sekali memotong rambut mereka pada saat masih bayi.” Imbuhnya. Pria yang sudah menikah di desa ini memiliki rambut panjang dan mereka
tidak pernah memotongnya. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga tradisi dan
kepercayaan mereka.
Para wanita menggunakan Nai Oe untuk mengambil air. Mereka menaruh periuk tersebut di atas kepala untuk membawanya. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Desa
Suku Boti ini sudah dikukuhkan menjadi destinasi wisata budaya di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ada sekitar 400 pengunjung
sepanjang tahun 2016 lalu. Masyarakat kampung ini pun sudah menyediakan tempat
menginap untuk mendukung desa mereka jadi tempat wisata. Uniknya, mereka tidak
menetapkan harga untuk sewa kamar di sini. Itu yang menjadi masalah buat saya
lantaran pelayanan yang mereka berikan kepada saya dan Don sungguh luar biasa. Harga
berapa yang harus saya bayar untuk mengganti sajian makanan dan tempat menginap
yang cukup nyaman ini.
Kampung
Boti dengan kebersahajaannya membuka mata saya bahwa ada nilai-nilai luhur yang
bisa saya petik. Menjaga tradisi untuk menjaga alam tetap lestari dengan hidup
yang tidak berlebihan adalah sebuah konsep hidup yang ramah lingkungan untuk
ikut serta dalam usaha penyelamatan bumi dari kerusakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar