Terpaan air hujan ini tidak berhenti saat saya berjalan
menuju basecamp. “Dingin!” pekik saya dalam hati, meskipun sudah memakai baju
hangat beberapa lapis tapi rasa dingin ini masih terasa menusuk. Perjalanan ke
puncak tertinggi di Indonesia ini memang menjadi mimpi saya sejak lama.
Beruntung saya bisa mengikuti ekspedisi ke Carstensz Pyramid kali ini,
mengingat susahnya perijinan dan akses untuk masuk area pegunungan Sudirman di
Papua ini.
Pendakian di kawasan pegunungan Sudirman ini saya awali dari
Bali Dump, yang merupakan kawasan buangan sisa galian perusahaan tambang emas.
Saya ikut bagian dalam Ekspedisi Polwan Carstensz 2017 yang dihelat untuk
memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 Agustus lalu.
Baru sampai di kawasan ini saja saya sudah terkena gejala
Accute Mountain Sickness atau AMS, karena perjalanan yang saya lakukan dari Timika
hingga Bali Dump ini terlalu singkat mengingat ketinggiannya jauh berbeda. AMS
biasa terjadi di atas ketinggian 4000 mdpl jika pendaki bergerak terlalu cepat
menuju tempat yang lebih tinggi. Pusing, nafsu makan hilang, hingga mual adalah
beberapa gejala yang muncul pada penderita AMS. Beruntung saat itu saya masih
terkena gejala ringan cuma pusing saja.
“Kamu
jangan bergerak terlalu banyak nanti semakin pusing,” Mamay Salim mengingatkan
saya. Ia adalah salah satu pemanjat tebing legendaris yang mengawal ekspedisi
ini. “Kamu aklimatisasi dulu pelan-pelan biar tubuh kamu itu menyesuaikan
diri,” tambah pria berusia 64 tahun ini. Ya, aklimatisasi diperlukan tubuh agar
tidak terjadi AMS. Aklimatisasi ini sering disalahartikan sebagai penyesuaian
terhadap suhu saja, padahal aklimatisasi dilakukan untuk penyesuaian fisiologis
atau adaptasi tubuh terhadap lingkungan
baru yang akan dimasuki. Lingkungan baru dalam hal ini adalah ketinggian di
atas 4000 mdpl yang berbeda tekanan udaranya dan oksigen juga semakin tipis.
Bongkahan es di kawasan pintu angin yang jarang bisa ditemui. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Cuaca kali itu memang sedang tidak bagus, dari seminggu hanya
dua hari cuaca cerah. “Kemarin pas kamu belum datang di sini cuaca bagus,” kata
Kang Mamay yang sudah datang ke sini lebih dulu. “Kamu sudah siap ke puncak
Pyramid?” tanyanya lagi. “Siap Kang! Saya sudah banyak berlaltih untuk ke
sini,” jawab saya. Memang pendakian ke Carstensz Pyramid ini sangat berbeda
dari gunung-gunung Indonesia lainnya.
Diperlukan ketahanan fisik yang prima dan kemampuan
menggunakan alat pendakian yang baik untuk mendaki gunung ini. Karena oksigen
sangat tipis dan medan yang jauh berbeda dari gunung-gunung lain di Indonesia.
Medan berbatu dan jalur yang terjal menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
perjalanan saya. Ini bukan kali pertama saya mendaki gunung di atas ketinggian
4000 mdpl namun saya tidak bisa menganggap tingkat kesulitan di sini akan sama
dengan gunung-gunung yang sudah pernah saya daki.
Pendaki harus melewati tanjakan pintu angin, tanjakan ini merupakan medan yang paling berat ungut menuju basecamp Lembah Danau-Danau. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Pagi menjelang hujan gerimis membasahi Bali Dump, namun kami
tetap harus meniti langkah menuju ke zona es puncak Soekarno. Didampingi Mamay
Salim dan R.A Budi Santoso, dua pendaki kawakan ini yang akan menjadi guide
saya dan para Polwan untuk naik ke atas. Waktu itu para Polwan akan melakukan
aklimatisasi ke zona es di kawasan puncak Soekarno. “Meskipun hujan, kita harus
tetap melakukan aklimatisasi. Yang penting tubuh sudah tertutup dengan pakaian
anti air,” ucap Mamay ke seluruh pendaki.
Target kali ini adalah, kami harus melakukan aklimatisasi
hingga zona es di ketinggian sekitar 4600 mdpl. Sebenarnya beberapa Polwan
sudah melakukan summit attack ke puncak Carstensz Pyramid namun ada beberapa
yang sakit akibat AMS sehingga harus dilakukan
aklimatisasi ulang. “Saya kemarin sempat sakit tapi Alhamdulillah sekarang
saya siap untuk aklimatisasi kembali,” papar Sari, salah satu pendaki dari Tim
Polwan.
Dua orang pendaki, Brian dan R.A. Budi Santoso sedang menghangatkan diri di dalam tenda di basecamp Yellow Valley. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Danau 3 adalah pemberhentian pertama perjalanan ini setelah
berjalan dari Bali Dump, sekitar satu setengah jam waktu yang kami tempuh untuk
mencapai sini. “Selanjutnya akan ada tanjakan pintu angin, ini akan jadi
rintangan terberat untuk menuju ke basecamp Lembah Danau-Danau,” ucap Mamay.
Benar saja, tanjakan ini cukup panjang dan terjal, untung saja hujan sudah reda
dan matahari mulai menampakkan dirinya.
Saya pikir dengan berhentinya hujan, otomatis suhu akan
menjadi hangat. Justru di pintu angin ini, terpaan angin membuat suhu menjadi
semakin dingin. Saya berjalan sembari menahan dingin, hingga akhirnya kami
mencapai atas pintu angin. Banyak danau di area ini, mulanya saya pikir sudah
sampai di basecamp Lembah Danau-Danau.
“Belum, masih satu jam lagi dari sini,” kata R.A Budi Santoso, salah
satu guide kami. Benar juga, kami melewati banyak danau hingga akhirnya sampai
basecamp Lembah Danau-Danau untuk beristirahat.
Di tempat dengan ketinggian 4275 mdpl ini ada sebuah
pemandangan yang membuat hati saya perih, setumpuk sampah merusak panorama alam
yang sedang saya nikmati. “Ini sudah berkali-kali dibersihkan tapi tetap saja
ada yang masih meninggalkan sampah di sini,” Ucap Slamet, salah satu anggota
Brimob yang turut mengawal. Meskipun banyak papan peringatan, beberapa oknum
pendaki abai dan tega meninggalkan sampahnya di tempat seindah ini.
Cuaca kembali berubah, hujan deras mengguyur kami, namun
aklimatisasi harus tetap dilakukan. Perjalanan ke zona es puncak Soekarno ini
memakan waktu tiga jam dari Lembah Danau-Danau. Para porter tidak ikut, mereka
tinggal di Lembah Danau-Danau untuk mendirikan tenda buat saya nanti bermalam.
Cuaca berubah dalam hitungan menit, terkadang sang surya mengintip dan
menghangatkan kami yang kedinginan, kadang hujan es kembali mengguyur kami.
Medan menuju zona es pun tidak mudah, banyak tanjakan yang licin karena lelehan
es.
Kawasan puncak Soemantri dan Soekarno yang masih tertutup es dilihat dari Bali Dump. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Sesampainya di zona es, saya dibuat takjub dengan hamparan es
yang tebal, “Akhirnya saya bisa melihat secara langsung salju khatulistiwa.”
Kata saya dalam hati. Memang tidak seperti hamparan salju yang tebal di Gunung
Elbrus yang saya daki tahun 2016 lalu, di sini es keras dan hanya sedikit salju
yang ada di permukaan. “Beberapa tahun lalu bibir es ada di bawah sana,” ucap
Slamet, anggota Brimob yang sudah acap kali ke sini.
Memang tak bisa dimungkiri, efek pemanasan global menjadi sebab
es di pegunungan Sudirman ini menyusut. Florenciano Hendricus Mutter, salah
satu pendaki yang hampir tiap tahun ke sini juga mengamini hal tersebut. “Dulu,
es di antara puncak Soekarno dan Soemantri ini terhubung tapi sekarang sudah
terpisahkan oleh bebatuan,” ungkapnya. Sungguh saya sangat bersyukur masih
sempat melihat es di negeri tropis ini, sebelum tergerus habis akibat perubahan
iklim yang sulit dihentikan.
Kami harus bergegas turun kembali ke Basecamp Lembah
Danau-Danau, karena hari akan gelap dan hujan kembali mengguyur kami. Saya
harus beristirahat malam ini karena esok harus berpindah ke Yellow Valley untuk
persiapan mendaki ke Carstensz Pyramid.
Menuju Puncak
Para Polwan sudah kembali ke basecamp utama Bali Dump,
sementara saya melanjutkan perjalanan dengan ditemani R.A Budi Santoso dan
Brian teman saya. Kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju ke basecamp Yellow
Valley atau Lembah Kuning. Kang Bohim, sapaan akrab R.A Budi Santoso ini yang
akan jadi guide kami. “Kalian lihat itu, jalur yang ada talinya. Besok subuh
kita akan lewat situ,” Jelas dia sambil menujuk ke arah tebing. Dinding batu
vertikal dengan tinggi sekitar 400 m ini yang akan jadi rintangan kami esok.
Tenda-tenda di basecamp Yellow Valley atau Lembah Kuning sebagai tempat bermalam bagi para pendaki yang akan menuju puncak Carstensz Pyramid. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Setelah merapikan barang di tenda, saya keluar untuk melihat
tebing yang akan kami panjat besok. “Nanti selain helm, kalian harus
menggunakan harness dan ascender untuk naik ke atas,” Kang Bohim menjelaskan.
Selain stamina yang baik, kemampuan menggunakan alat panjat tebing di sini
berperan penting. Kami harus konsentrasi penuh dalam pemanjatan karena
keselamatan kami tergantung pada itu semua.
Setelah semalam tidur dan makan cukup, jam empat dini hari
kami bergerak naik ke bibir tebing. Jaraknya tak lebih dari 30 menit dari
basecamp kami di Lembah Kuning. Rasa kantuk dan malas masih menggelayuti, sehingga
kami berjalan agak santai. Hingga akhirnya, Kang Bohim yang semula suka melawak
ini tiba-tiba berubah menjadi galak. “Kita harus bergerak cepat! Jika kalian
jalan seperti itu mau jam berapa turun dari puncak nanti!,” Teriak pria berusia
51 tahun ini kepada kami. Saya dan Brian pun mempercepat pergerakan, karena
memang benar jika kami terlalu lama bergerak, bisa jadi nanti sampai puncak pas
sore hari.
Rasanya sudah cukup tinggi tebing yang kami panjat, namun
ujung tebing ini tak kunjung kami capai. Dalam pemanjatan ini nyawa kami
bergantung pada seutas tali yang sudah dipasang di sepanjang tebing menuju
summit ridge. “Sekitar 1300 meter tali sudah diganti oleh tim pendahulu dalam
Ekspedisi Polwan Carstensz ini,” Ucap pria berkacamata ini. Saya melihat
tali-tali bekas yang sudah diganti itu memang telah rapuh karena terpaan hujan
dan terik matahari.
Beberapa kali saya harus menerima runtuhan kerikil dari atas,
karena dalam formasi pemanjatan ini saya yang paling belakang. “Rock ! awas
Wil, batu jatuh!,” pekik Brian kepada saya dari atas. Beberapa batu menimpa
badan dan kepala saya, untung kepala saya terlindungi helm jadi tidak ada
cedera akibat runtuhan batu. Tebing vertikal terakhir sebelum summit ridge itu
memang banyak batuan yang mudah lepas, sehingga tak jarang jika tak berhati-hati bisa tergelincir
dan meruntuhkan batuan-batuan tersebut.
Tak berhenti di situ, rintangan setelah mencapai summit ridge
masih ada lagi, yakni celah tebing menganga selebar sekitar 20 meter. Dulu
sebelum tahun 2015, pendaki harus melewati celah ini dengan tehnik tyroleans
atau tehnik melewati celah dengan menggantungkan badan di seutas tali untuk berpindah
ke tebing lainnya. Namun kali ini saya beruntung, sudah dipasang jembatan tali
dari kabel baja yang dipasang oleh tim Indonesian Climbing Expedition dibawah
pimpinan pemanjat tebing Tedi Ixdiana.
Tak butuh waktu lama dan energi yang banyak untuk melewati
titian jembatan yang populer disebut dengan Burma Bridge ini. Tak lebih dari
dua menit saya sudah melewati celah ini, biasanya jika menggunakan tehnik
tyroleans bisa memakan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak. “Ayo
lekas, kita harus sampai puncak sebelum tengah hari,” teriak guide kami. Ini
akan jadi kali keempat Kang Bohim mencapai Carstensz Pyramid.
Dua orang pendaki, Brian dan R.A. Budi Santoso memanjat dinding vertikal setinggi sekitar 40 meter menuju summit ridge. (Photo by : Wildan Indrawan) |
Stamina mulai menurun setelah melewati tebing vertikal dan
celah tebing, beruntung kali ini cuaca cerah dari awal pemanjatan hingga di
atas, jika hujan akan mempersulit pergerakan kami. Beberapa kali kami minta
untuk beristirahat karena kepayahan dan kelelahan lantaran oksigen semakin
tipis tapi Kang Bohim selalu mengatakan untuk istirahat di dataran yang agak
landai di atas. Tidak ada dataran landai yang kami temukan, yang ada hanya
beberapa celah dan tanjakan vertikal lagi. Rupanya ini hanya siasat dia agar
saya dan Brian terus bergerak.
“Sini kamu Wildan, kamu bisa beristirahat di situ,” katanya
sambil menunjuk ke sebuah dataran yang landai di atasnya. Dengan berjalan
gontai ke arahnya, saya terkejut yang ia tunjuk adalah titik tertinggi di
negeri ini, 4884 mdpl. Sontak saya menangis bahagia, terharu, saya hanya diam
dan memeluk tubuh kurus Kang Bohim. Berlutut dan sujud syukur adalah hal yang
pertama saya lakukan di puncak Carstensz Pyramid ini. Rasa syukur tak terhingga
karena medan yang kami lewati begitu berat.
Sujud syukur saya lakukan, begitu sampai di puncak Carstensz Pyramid mengingat medan yang sangat berat untuk menuju puncak. (Photo by : Brian B. Hendro) |
Carstensz Pyramid ini menjadi incaran bagi para pendaki dari
seluruh dunia. Karena Ndugu-Ndugu sebutannya dalam istilah lokal ini menjadi salah
satu puncak tertinggi dari rangkaian tujuh puncak dunia atau The Seven Summits.
The Seven Summits adalah rangkaian gunung tertinggi di tujuh lempeng benua tapi
sering disalahartikan sebagai tujuh gunung tertinggi di dunia. Selain Carstensz
Pyramid yang mewakili lempeng Australasia, di belahan benua lain ada Gunung
Elbrus yang mewakili lempeng Eropa, Everest mewakili lempeng Asia, Kilimanjaro
mewakili lempeng Afrika, Vinson Massif mewakili lempeng Antartika, Denali
mewakili lempeng Amerika Utara dan Aconcagua mewakili lempeng Amerika Selatan.
Tak lama, Brian menyusul kemudian, kami bertiga berpelukan
dan menangis bahagia. Dibalik senyum dan teriakan, kami bersyukur untuk
kebesaran alam yang digoreskan Sang Pencipta. Sebuah cita-cita yang telah lama
kami impikan. Pendakian ini bukan saja tentang perjalanan dan batas-batas ujian
fisik manusia, Carstensz adalah bahasa ujian, ujian bagi kita untuk melatih
kesabaran, kekompakan, dan kerjasama tim. Karena gunung bukan untuk ditaklukkan
namun yang harus ditaklukkan adalah ego dari diri kita sendiri.
Simak video perjalanan ke Carstensz Pyramid di sini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar