Jumat, 03 November 2017

Meraih Mimpi di Atap Negeri

(Tulisan ini sudah disunting dan terbit di Majalah National Geographic Traveler Indonesia edisi November 2017) 

Selebrasi saya dan R.A. Budi Santoso di puncak Carstensz Pyramid dengan mengibarkan bendera merah putih. (Photo by : Brian B. Hendro)
Terpaan air hujan ini tidak berhenti saat saya berjalan menuju basecamp. “Dingin!” pekik saya dalam hati, meskipun sudah memakai baju hangat beberapa lapis tapi rasa dingin ini masih terasa menusuk. Perjalanan ke puncak tertinggi di Indonesia ini memang menjadi mimpi saya sejak lama. Beruntung saya bisa mengikuti ekspedisi ke Carstensz Pyramid kali ini, mengingat susahnya perijinan dan akses untuk masuk area pegunungan Sudirman di Papua ini.

Pendakian di kawasan pegunungan Sudirman ini saya awali dari Bali Dump, yang merupakan kawasan buangan sisa galian perusahaan tambang emas. Saya ikut bagian dalam Ekspedisi Polwan Carstensz 2017 yang dihelat untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 Agustus lalu.

Baru sampai di kawasan ini saja saya sudah terkena gejala Accute Mountain Sickness atau AMS, karena perjalanan yang saya lakukan dari Timika hingga Bali Dump ini terlalu singkat mengingat ketinggiannya jauh berbeda. AMS biasa terjadi di atas ketinggian 4000 mdpl jika pendaki bergerak terlalu cepat menuju tempat yang lebih tinggi. Pusing, nafsu makan hilang, hingga mual adalah beberapa gejala yang muncul pada penderita AMS. Beruntung saat itu saya masih terkena gejala ringan cuma pusing saja.

“Kamu jangan bergerak terlalu banyak nanti semakin pusing,” Mamay Salim mengingatkan saya. Ia adalah salah satu pemanjat tebing legendaris yang mengawal ekspedisi ini. “Kamu aklimatisasi dulu pelan-pelan biar tubuh kamu itu menyesuaikan diri,” tambah pria berusia 64 tahun ini. Ya, aklimatisasi diperlukan tubuh agar tidak terjadi AMS. Aklimatisasi ini sering disalahartikan sebagai penyesuaian terhadap suhu saja, padahal aklimatisasi dilakukan untuk penyesuaian fisiologis atau adaptasi  tubuh terhadap lingkungan baru yang akan dimasuki. Lingkungan baru dalam hal ini adalah ketinggian di atas 4000 mdpl yang berbeda tekanan udaranya dan oksigen juga semakin tipis.
Bongkahan es di kawasan pintu angin yang jarang bisa ditemui. (Photo by : Wildan Indrawan)
Cuaca kali itu memang sedang tidak bagus, dari seminggu hanya dua hari cuaca cerah. “Kemarin pas kamu belum datang di sini cuaca bagus,” kata Kang Mamay yang sudah datang ke sini lebih dulu. “Kamu sudah siap ke puncak Pyramid?” tanyanya lagi. “Siap Kang! Saya sudah banyak berlaltih untuk ke sini,” jawab saya. Memang pendakian ke Carstensz Pyramid ini sangat berbeda dari gunung-gunung Indonesia lainnya.

Diperlukan ketahanan fisik yang prima dan kemampuan menggunakan alat pendakian yang baik untuk mendaki gunung ini. Karena oksigen sangat tipis dan medan yang jauh berbeda dari gunung-gunung lain di Indonesia. Medan berbatu dan jalur yang terjal menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan saya. Ini bukan kali pertama saya mendaki gunung di atas ketinggian 4000 mdpl namun saya tidak bisa menganggap tingkat kesulitan di sini akan sama dengan gunung-gunung yang sudah pernah saya daki.
Pendaki harus melewati tanjakan pintu angin, tanjakan ini merupakan medan yang paling berat ungut menuju basecamp Lembah Danau-Danau. (Photo by : Wildan Indrawan)
Pagi menjelang hujan gerimis membasahi Bali Dump, namun kami tetap harus meniti langkah menuju ke zona es puncak Soekarno. Didampingi Mamay Salim dan R.A Budi Santoso, dua pendaki kawakan ini yang akan menjadi guide saya dan para Polwan untuk naik ke atas. Waktu itu para Polwan akan melakukan aklimatisasi ke zona es di kawasan puncak Soekarno. “Meskipun hujan, kita harus tetap melakukan aklimatisasi. Yang penting tubuh sudah tertutup dengan pakaian anti air,” ucap Mamay ke seluruh pendaki.

Target kali ini adalah, kami harus melakukan aklimatisasi hingga zona es di ketinggian sekitar 4600 mdpl. Sebenarnya beberapa Polwan sudah melakukan summit attack ke puncak Carstensz Pyramid namun ada beberapa yang sakit akibat AMS sehingga harus dilakukan  aklimatisasi ulang. “Saya kemarin sempat sakit tapi Alhamdulillah sekarang saya siap untuk aklimatisasi kembali,” papar Sari, salah satu pendaki dari Tim Polwan.
Dua orang pendaki, Brian dan R.A. Budi Santoso sedang menghangatkan diri di dalam tenda di basecamp Yellow Valley. (Photo by : Wildan Indrawan)
Danau 3 adalah pemberhentian pertama perjalanan ini setelah berjalan dari Bali Dump, sekitar satu setengah jam waktu yang kami tempuh untuk mencapai sini. “Selanjutnya akan ada tanjakan pintu angin, ini akan jadi rintangan terberat untuk menuju ke basecamp Lembah Danau-Danau,” ucap Mamay. Benar saja, tanjakan ini cukup panjang dan terjal, untung saja hujan sudah reda dan matahari mulai menampakkan dirinya.

Saya pikir dengan berhentinya hujan, otomatis suhu akan menjadi hangat. Justru di pintu angin ini, terpaan angin membuat suhu menjadi semakin dingin. Saya berjalan sembari menahan dingin, hingga akhirnya kami mencapai atas pintu angin. Banyak danau di area ini, mulanya saya pikir sudah sampai di basecamp Lembah Danau-Danau.  “Belum, masih satu jam lagi dari sini,” kata R.A Budi Santoso, salah satu guide kami. Benar juga, kami melewati banyak danau hingga akhirnya sampai basecamp Lembah Danau-Danau untuk beristirahat.
 
Tumpukan sampah di kawasan basecamp Lembah Danau-Danau yang ditinggalkan oknum pendaki yang tidal bertanggung jawab. Sampah ini sudah ada sebelum Ekspedisi Polwan Carstensz 2017 dimulai. (Photo by : Wildan Indrawan)
Di tempat dengan ketinggian 4275 mdpl ini ada sebuah pemandangan yang membuat hati saya perih, setumpuk sampah merusak panorama alam yang sedang saya nikmati. “Ini sudah berkali-kali dibersihkan tapi tetap saja ada yang masih meninggalkan sampah di sini,” Ucap Slamet, salah satu anggota Brimob yang turut mengawal. Meskipun banyak papan peringatan, beberapa oknum pendaki abai dan tega meninggalkan sampahnya di tempat seindah ini.

Cuaca kembali berubah, hujan deras mengguyur kami, namun aklimatisasi harus tetap dilakukan. Perjalanan ke zona es puncak Soekarno ini memakan waktu tiga jam dari Lembah Danau-Danau. Para porter tidak ikut, mereka tinggal di Lembah Danau-Danau untuk mendirikan tenda buat saya nanti bermalam. Cuaca berubah dalam hitungan menit, terkadang sang surya mengintip dan menghangatkan kami yang kedinginan, kadang hujan es kembali mengguyur kami. Medan menuju zona es pun tidak mudah, banyak tanjakan yang licin karena lelehan es.
Kawasan puncak Soemantri dan Soekarno yang masih tertutup es dilihat dari Bali Dump. (Photo by : Wildan Indrawan)
Sesampainya di zona es, saya dibuat takjub dengan hamparan es yang tebal, “Akhirnya saya bisa melihat secara langsung salju khatulistiwa.” Kata saya dalam hati. Memang tidak seperti hamparan salju yang tebal di Gunung Elbrus yang saya daki tahun 2016 lalu, di sini es keras dan hanya sedikit salju yang ada di permukaan. “Beberapa tahun lalu bibir es ada di bawah sana,” ucap Slamet, anggota Brimob yang sudah acap kali ke sini.

Memang tak bisa dimungkiri, efek pemanasan global menjadi sebab es di pegunungan Sudirman ini menyusut. Florenciano Hendricus Mutter, salah satu pendaki yang hampir tiap tahun ke sini juga mengamini hal tersebut. “Dulu, es di antara puncak Soekarno dan Soemantri ini terhubung tapi sekarang sudah terpisahkan oleh bebatuan,” ungkapnya. Sungguh saya sangat bersyukur masih sempat melihat es di negeri tropis ini, sebelum tergerus habis akibat perubahan iklim yang sulit dihentikan.

Kami harus bergegas turun kembali ke Basecamp Lembah Danau-Danau, karena hari akan gelap dan hujan kembali mengguyur kami. Saya harus beristirahat malam ini karena esok harus berpindah ke Yellow Valley untuk persiapan mendaki ke Carstensz Pyramid.

Menuju Puncak
Para Polwan sudah kembali ke basecamp utama Bali Dump, sementara saya melanjutkan perjalanan dengan ditemani R.A Budi Santoso dan Brian teman saya. Kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju ke basecamp Yellow Valley atau Lembah Kuning. Kang Bohim, sapaan akrab R.A Budi Santoso ini yang akan jadi guide kami. “Kalian lihat itu, jalur yang ada talinya. Besok subuh kita akan lewat situ,” Jelas dia sambil menujuk ke arah tebing. Dinding batu vertikal dengan tinggi sekitar 400 m ini yang akan jadi rintangan kami esok.
Tenda-tenda di basecamp Yellow Valley atau Lembah Kuning sebagai tempat bermalam bagi para pendaki yang akan menuju puncak Carstensz Pyramid. (Photo by : Wildan Indrawan)
Setelah merapikan barang di tenda, saya keluar untuk melihat tebing yang akan kami panjat besok. “Nanti selain helm, kalian harus menggunakan harness dan ascender untuk naik ke atas,” Kang Bohim menjelaskan. Selain stamina yang baik, kemampuan menggunakan alat panjat tebing di sini berperan penting. Kami harus konsentrasi penuh dalam pemanjatan karena keselamatan kami tergantung pada itu semua.

Setelah semalam tidur dan makan cukup, jam empat dini hari kami bergerak naik ke bibir tebing. Jaraknya tak lebih dari 30 menit dari basecamp kami di Lembah Kuning. Rasa kantuk dan malas masih menggelayuti, sehingga kami berjalan agak santai. Hingga akhirnya, Kang Bohim yang semula suka melawak ini tiba-tiba berubah menjadi galak. “Kita harus bergerak cepat! Jika kalian jalan seperti itu mau jam berapa turun dari puncak nanti!,” Teriak pria berusia 51 tahun ini kepada kami. Saya dan Brian pun mempercepat pergerakan, karena memang benar jika kami terlalu lama bergerak, bisa jadi nanti sampai puncak pas sore hari.
 
Tali di sepanjang jalur pemanjatan menuju Carstensz Pyramid yang sudah rusak diganti dengan yang baru oleh tim Ekspedisi Polwan Carstensz 2017 pada bulan Agustus lalu. Sekitar 1300 meter tali yang sudah diganti dari Yellow Valley hingga puncak Carstensz Pyramid. (Photo by : Wildan Indrawan)
Rasanya sudah cukup tinggi tebing yang kami panjat, namun ujung tebing ini tak kunjung kami capai. Dalam pemanjatan ini nyawa kami bergantung pada seutas tali yang sudah dipasang di sepanjang tebing menuju summit ridge. “Sekitar 1300 meter tali sudah diganti oleh tim pendahulu dalam Ekspedisi Polwan Carstensz ini,” Ucap pria berkacamata ini. Saya melihat tali-tali bekas yang sudah diganti itu memang telah rapuh karena terpaan hujan dan terik matahari.

Beberapa kali saya harus menerima runtuhan kerikil dari atas, karena dalam formasi pemanjatan ini saya yang paling belakang. “Rock ! awas Wil, batu jatuh!,” pekik Brian kepada saya dari atas. Beberapa batu menimpa badan dan kepala saya, untung kepala saya terlindungi helm jadi tidak ada cedera akibat runtuhan batu. Tebing vertikal terakhir sebelum summit ridge itu memang banyak batuan yang mudah lepas, sehingga tak jarang  jika tak berhati-hati bisa tergelincir dan  meruntuhkan batuan-batuan tersebut.
Guide yang mendampingi saya, R.A Budi Santoso di atas teras besar. Meskipun usianya sudah 51 tahun, pendakian ke puncak Carstensz Pyramid ini menjadi yang ke empat baginya. (Photo by : WIldan Indrawan)
Tak berhenti di situ, rintangan setelah mencapai summit ridge masih ada lagi, yakni celah tebing menganga selebar sekitar 20 meter. Dulu sebelum tahun 2015, pendaki harus melewati celah ini dengan tehnik tyroleans atau tehnik melewati celah dengan menggantungkan badan di seutas tali untuk berpindah ke tebing lainnya. Namun kali ini saya beruntung, sudah dipasang jembatan tali dari kabel baja yang dipasang oleh tim Indonesian Climbing Expedition dibawah pimpinan pemanjat tebing Tedi Ixdiana.

Tak butuh waktu lama dan energi yang banyak untuk melewati titian jembatan yang populer disebut dengan Burma Bridge ini. Tak lebih dari dua menit saya sudah melewati celah ini, biasanya jika menggunakan tehnik tyroleans bisa memakan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak. “Ayo lekas, kita harus sampai puncak sebelum tengah hari,” teriak guide kami. Ini akan jadi kali keempat Kang Bohim mencapai Carstensz Pyramid.
 
Dua orang pendaki, Brian dan R.A. Budi Santoso memanjat dinding vertikal setinggi sekitar 40 meter menuju summit ridge. (Photo by : Wildan Indrawan)
Stamina mulai menurun setelah melewati tebing vertikal dan celah tebing, beruntung kali ini cuaca cerah dari awal pemanjatan hingga di atas, jika hujan akan mempersulit pergerakan kami. Beberapa kali kami minta untuk beristirahat karena kepayahan dan kelelahan lantaran oksigen semakin tipis tapi Kang Bohim selalu mengatakan untuk istirahat di dataran yang agak landai di atas. Tidak ada dataran landai yang kami temukan, yang ada hanya beberapa celah dan tanjakan vertikal lagi. Rupanya ini hanya siasat dia agar saya dan Brian terus bergerak.

“Sini kamu Wildan, kamu bisa beristirahat di situ,” katanya sambil menunjuk ke sebuah dataran yang landai di atasnya. Dengan berjalan gontai ke arahnya, saya terkejut yang ia tunjuk adalah titik tertinggi di negeri ini, 4884 mdpl. Sontak saya menangis bahagia, terharu, saya hanya diam dan memeluk tubuh kurus Kang Bohim. Berlutut dan sujud syukur adalah hal yang pertama saya lakukan di puncak Carstensz Pyramid ini. Rasa syukur tak terhingga karena medan yang kami lewati begitu berat.
Sujud syukur saya lakukan, begitu sampai di puncak Carstensz Pyramid mengingat medan yang sangat berat untuk menuju puncak. (Photo by : Brian B. Hendro)
Carstensz Pyramid ini menjadi incaran bagi para pendaki dari seluruh dunia. Karena Ndugu-Ndugu sebutannya dalam istilah lokal ini menjadi salah satu puncak tertinggi dari rangkaian tujuh puncak dunia atau The Seven Summits. The Seven Summits adalah rangkaian gunung tertinggi di tujuh lempeng benua tapi sering disalahartikan sebagai tujuh gunung tertinggi di dunia. Selain Carstensz Pyramid yang mewakili lempeng Australasia, di belahan benua lain ada Gunung Elbrus yang mewakili lempeng Eropa, Everest mewakili lempeng Asia, Kilimanjaro mewakili lempeng Afrika, Vinson Massif mewakili lempeng Antartika, Denali mewakili lempeng Amerika Utara dan Aconcagua mewakili lempeng Amerika Selatan.


Tak lama, Brian menyusul kemudian, kami bertiga berpelukan dan menangis bahagia. Dibalik senyum dan teriakan, kami bersyukur untuk kebesaran alam yang digoreskan Sang Pencipta. Sebuah cita-cita yang telah lama kami impikan. Pendakian ini bukan saja tentang perjalanan dan batas-batas ujian fisik manusia, Carstensz adalah bahasa ujian, ujian bagi kita untuk melatih kesabaran, kekompakan, dan kerjasama tim. Karena gunung bukan untuk ditaklukkan namun yang harus ditaklukkan adalah ego dari diri kita sendiri.

Simak video perjalanan ke Carstensz Pyramid di sini :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar