Jumat, 05 September 2014

The Extreme Journey Across Asia : The Backpacker Race from Vietnam to Laos

Tim #X4, (ki-ka) Liem Joeng Liang, Mutiara Arum Kirana Suci, dan Wildan Indrawan setelah memenangkan babak Across Indonesia regional Sulawesi kini harus berlaga di babak Across Asia. (photo doc : Caldera Indonesia)
Setelah berhasil memenangkan babak The Extreme Journey Across Indonesia regional Sulawesi, tim X4 yang terdiri dari Saya, Mutiara Arum Kirana Suci, dan Liem Joeng Liang kini harus berlaga di babak Across Asia. Di babak ini diikuti oleh perwakilan dari masing-masing regional pada babak Across Indonesia lalu.
Selain tim X4 perwakilan dari regional Sulawesi, ada tim X2 yang berhak mewakili regional Jawa-Bali dan X9 perwakilan dari regional NTB-NTT. Ketiga tim ini akan dipertandingkan di babak Across Asia yang nantinya dibagi menjadi dua etape, yaitu Etape I dan Etape II. Dalam setiap etapenya tempat pelaksanaan dan bentuk tantangan nya akan berbeda di mana Etape I meliputi tiga negara yaitu, Vietnam, Laos, dan Thailand. 

Sementara itu Etape II akan dilaksanakan di India, peserta dari Etape II ini adalah dua tim teratas di Etape I. Jadi akan ada satu tim yang dieliminasi pada Etape I dengan skor terendah. Untuk jalur dan jenis tantangannya, peserta tidak ada yang mengetahuinya karena sama seperti babak Across Indonesia, penyelenggara merahasiakan hal tersebut.
Ketiga tim finalis The Extreme Journey Across Asia start dari Jakarta. (photo by : Johan Sompotan/okezone.com)
Hari pertama semua peserta dikumpulkan di Jakarta untuk menjalani tes kesehatan, cek perlengkapan dan kelayakannya. Di Jakarta peserta juga harus menjalani technical meeting untuk diberi penjelasan mengenai perlombaan yang akan dijalani. Setelah technical meeting, pada hari yang sama perlombaan ini dimulai.

Tantangan pertama dalam Backpacker Race ini adalah menuju ke Van Long di Vietnam. Semua peserta harus adu strategi untuk bisa menjadi yang tercepat mencapai lokasi. Dengan bekal uang yang minim peserta harus mampu membagi untuk biaya transportasi dan makan sepanjang perjalanan.

Segera tim kami jalan kaki dari titik start menuju pinggir jalan utama kota Jakarta. Sempat terpikir untuk hitch hiking menuju bandar udara Soekarno Hatta sesuai kebiasaan kami tapi kami merasa tidak perlu melakukan itu karena setelah kami hitung lagi, uang masih cukup aman untuk mencapai Vietnam. 

Taxi menjadi moda transportasi kami yang pertama untuk mencapai bandar udara Soekarno Hatta. Dengan sedikit negosiasi kami menawar kepada supir taksi untuk tidak memakai argo dan kami meminta untuk langsung membayar cash saja. Berhasil !! kami dapat harga cukup murah yaitu Rp. 100 ribu saja untuk mencapai airport.
Tim X9 dan Tim X4 saat transit di Kuala Lumpur International Airport, Malaysia. (photo by : Faela Shafa/ detiktravel.com)
Singkatnya semua peserta akan berangkat bersama dari bandar udara Soekarno Hatta menuju bandara Hanoi dengan transit di Kuala Lumpur, Malaysia. Dari bandara Hanoi inilah kami harus adu cepat untuk menuju Van Long Nature Reserve. Menurut hasil dari browsing kami, tempat tersebut terletak di Provinsi Ninh Binh.  

Setelah tahu kemana arah kami, dari bandara Hanoi kami bertanya ke warga sekitar, bagaimana untuk mencapai tempat tersebut. Banyak diantara mereka warga Vietnam yang saya temui di bandara ini tidak bisa bahasa inggris. Ini menjadi masalah baru bagi kami karena di babak Across Indonesia kami sangat mudah berkomunikasi karena kesamaan bahasa yang digunakan.

Akhirnya dengan bersusah payah menjelaskan maksud dan tujuan kami, ada satu orang yang bisa menjelaskan dengan terbata-bata bahwa kami harus ke terminal induk di My Dinh lalu di sana kami harus temukan bus yang menuju Provinsi Ninh Binh.

Segera kami mencari bus menuju terminal My Dinh, tidak susah karena di depan kami sudah ada bus yang akan segera berangkat menuju My Dinh. Dua tim lain nampak sedang sibuk mencari cara untuk menuju lokasi cek poin pertama, sementara tim kami sudah jalan menggunakan bus. 

Kami berpikiran bahwa bus ini akan berhenti tepat di terminal My Dinh, ternyata kami diturunkan di pinggir jalan karena bus ini tidak menuju ke sana meskipun di awal dia mengatakan akan mengantar sampai terminal My Dinh. Menurut sopir bus yang kami tumpangi, jarak dari tempat kami diturunkan menuju terminal My Dinh tidak jauh, cukup jalan kaki saja sekitar 5 menit ujarnya. Rupanya setelah kami jalan selama 5 menit tak kunjung sampai, kami akhirnya tahu ternyata kami harus berjalan sekitar 5 km untuk menuju terminal ini, cukup mengesalkan.
Ben Xe Khach My Dinh atau terminal bus My Dinh adalah terminal bus induk di kota Hanoi. (photo source : www.hanoimoi.com.vn)
Sesampai di terminal bus My Dinh kami mendapat kesulitan lain lagi yaitu, tidak ada orang yang tahu bus mana yang menuju Provinsi Ninh Binh. Usut punya usut rupanya cara pengucapan kami yang tidak dimengerti oleh mereka. Cukup lama kami bisa mendapatkan bus di terminal ini karena salah cara pengucapan. Akhirnya kami mendapatkan bus yang langsung menuju Provinsi Ninh Binh dan negosiasi harga pun cukup alot karena sama-sama tidak sinkron bahasanya.

Kami tidak menyangka menjadi tim yang pertama sampai di Van Long Natural Reserve Provinsi Ninh Binh. Segera setelah sampai, kami diberikan tantangan selanjutnya yaitu, kami harus mendayung menggunakan perahu tradisional di danau Van Long Natural Reserve untuk mengambil 10 bendera yang sudah disiapkan. 

Cuaca yang sangat panas hingga mencapai 44 derajat celcius cukup mengganggu kami, namun  kami cukup terhibur karena pemandangan di danau ini sangat indah menyerupai Halong Bay. bedanya di sini adalah danau.
Tim X4 menjadi yang tercepat di tantangan mendayung perahu tradisional di Van Long Natural Reserve Ninh Binh, Vietnam. (photo file : Caldera Indonesia)
Sementara kami hampir menyelesaikan tantangan ini, dua tim lain masih harus berjibaku mengumpulkan bendera. Dalam tantangan ini kami berhasil menyapu bersih semua bendera dan finish di urutan pertama. Kami menjadi peringkat pertama klasemen sementara The Extreme Journey Across Asia ini.

Selanjutnya kami ditantang untuk menuju Sapa, Vietnam Utara. Jarak yang sangat jauh dari Van Long Natural Reserve dan cukup menyulitkan karena dari lokasi ini kami harus keluar ke jalan utama untuk mendapatkan kendaraan. Nampak dua tim lawan kami bergegas dan lebih cepat jauh meninggalkan kami.

Kami berjalan kaki sembari mengacungkan ibu jari untuk mendapatkan tumpangan. Sekalinya ada kendaraan berhenti, kami terkendala bahasa dan sulit untuk menjelaskan keinginan kami. Akhirnya kami berhasil menyetop mobil sedan yang mau mengantarkan kami ke pinggir jalan utama.

Sesampainya di pinggir jalan utama sangat susah mendapatkan bus yang menuju ke Hanoi. Untuk menuju ke Sapa kami harus kembali ke terminal My Dinh di Hanoi lagi baru berganti bus menuju Sapa. Akhirnya insting hitchhiking saya tak terhenti, saya coba stop mobil-mobil yang lewat akhirnya berhenti sebuah truk besar yang bersedia mengangkut kami sekitar 10 km ke arah Hanoi.

Dua kali mendapat tumpangan gratis membuat kepercayaan diri kami meningkat dalam melakukan hitchhiking. Terbatasnya komunikasi bisa kami atasi dengan bahasa isyarat dan menggambar di kertas untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami. Setelah diturunkan pun kami kembali mendapatkan tumpangan truk besar ke arah Hanoi.

Sekitar 30 km kami mendapatkan tumpangan dari supir truk. Jarak yang lumayan untuk mengirit ongkos. Setelah kami diturunkan dan truk berbelok ke arah lainnya, kami kembali melakukan hitchhiking. Hari sudah petang dan itu menyulitkan kami untuk menghentikan mobil karena pergerakan kami di pinggir jalan tidak cukup terlihat untuk mobil yang lewat.

Akhirnya tanpa disangka saya melihat ada bus yang bertuliskan Lao Cai - Sapa. Spontan saya stop bus tersebut untuk bernegosiasi harga. Rupanya uang yang diberikan panitia kepada kami tidak banyak, jadi kami harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Dari harga awal yang ditawarkan 400.000 Dong per orang untuk menuju Sapa, kami berhasil menawar dengan harga 250.000 Dong per orang.
Suasana di dalam sleeper bus menuju Sapa Vietnam yang cukup nyaman dilengkapi dengan bantal dan selimut. (photo : Mutiara)
Bus antar kota antar provinsi di Vietnam sangat berbeda dari Indonesia. Di sini terdapat sleeper bus, yaitu bus yang tempat duduknya bisa digunakan untuk tidur, jadi cukup nyaman untuk perjalanan jauh.  Tempat tidur di dalam bus ini dibuat bertingkat atas dan bawah disusun tiga baris.

Sekitar 8 jam perjalanan kami tempuh untuk menuju Sapa, di dalam bus kami manfaatkan untuk mencoba berbincang dengan penumpang lain, namun kendala bahasa kembali menjadi pembatas kami untuk berkomunikasi dan akhirnya kami memilih tidur untuk beristirahat.
Ben Xe Lao Cai atau terminal bus Lao Cai di provinsi Lao Cai menjadi pemberhentian sebelum menuju Sapa. (photo : Wildan Indrawan)

Pagi sekitar pukul 05.00 kami sampai di terminal Lao Cai, dari sini jarak menuju Sapa sudah cukup dekat sekitar 30 km. Karena uang kami sudah menipis, kami berniat kembali melakukan hitch hiking. Beberapa kali menyetop mobil tidak ada yang mau memberi kami tumpangan, akhirnya kami terpaksa mencoba menggunakan minibus dan bernegosiasi.

Harga yang ditawarkan adalah 50.000 Dong per orang, kami menawar dengan harga 100.000 Dong untuk empat orang plus kamerawan kami. Kami pun ditertawakan karena menurut sopir minibus yang akan kami tumpangi tidak mungkin ada yang mau dengan harga yang menurut mereka gila itu. Namun pada akhirnya ada minibus lain yang kekurangan penumpang untuk menuju Sapa dan dengan terpaksa supir minibus itu mau membawa kami menuju Sapa.
Alun-alun Sapa menjadi tempat finish dalam tantangan kali ini. Sapa menjadi destinasi para backpacker dunia karena keindahan alam dan eksotisme warga aslinya. (photo : Wildan Indrawan)
Akhirnya kami mencapai alun-alun Sapa tempat finish tantangan ini, kami kembali menjadi yang pertama di tantangan ini. Kami tidak menyangka karena kemarin waktu dari Van Long pergerakan kami tertinggal jauh dari dua tim lawan kami, namun itu bukan berarti kami juga akan finish terakhir. Tim X2 menjadi yang kedua setelah kami sampai di alun-alun Sapa.
Tim X4 kembali menjadi yang pertama di tantangan speed menuju Sapa Vietnam. (photo : Caldera Sobek)
Sesampainya di lokasi pun kami tidak bisa bersantai-santai karena tantangan selanjutnya adalah, peserta harus memasak makan malam untuk warga suku Black Hmong di desa Hau Thao. Masalah masak memasak Yung dan Mutiara lebih berkompeten daripada saya, jadi saya percaya kepada mereka untuk memilih menu apa yang akan dimasak.

Kami berbelanja di pasar dekat alun-alun Sapa, di sana terdapat banyak bahan dan bumbu untuk masakan kami nanti malam. Segera setelah selesai berbelanja peserta dikumpulkan untuk tantangan selanjutnya yaitu treking menuju desa Hau Thao dengan menelusuri cek poin di GPS yang disediakan panitia.
Tim X2 dan X4 akan melakukan treking menuju desa Hau Thao tanpa tim X9 yang masih belum mencapai alun-alun Sapa. (photo : Caldera Sobek)
Ada sekitar 10 cek poin yang harus kami temukan untuk menuju desa tersebut. Kali ini peserta treking hanya tim X4 dan X2 karena tim X9 masih belum mencapai garis finish di alun-alun Sapa. Kedua tim segera berpencar karena cek poin yang diberikan juga berbeda.

Dari cek poin 1 hingga cek poin 4 kami tidak terlalu mengalami masalah karena masih di sekitaran alun-alun Sapa. Untuk cek poin 5 hingga cek poin 8 inilah kami harus melalui perjalanan panjang dan berat. Kami harus jalan menuruni bukit untuk mencari cek poin-cek poin ini. Rupanya kami melewati beberapa desa yang sangat cantik dengan pemandangan pegunungan dan persawahan yang indah.
Pemandangan menuju desa Hau Thao sangat memanjakan mata. Pegunungan, persawahan, dan sungai yang jernih sangat indah dipadu rumah-rumah asli warga setempat. (photo : Wildan Indrawan)
Barang bawaaan yang berat dan trek naik turun bukit cukup menguras energi kami. Namun kami cukup terhibur dengan pemandangan alam yang indah sepanjang jalan ditambah kami mendapatkan teman, warga suku asli setempat yang cukup bisa berbahasa inggris. Sepanjang jalan kami bertukar cerita.
Bertemu warga suku Black Hmong di saat perjalanan menuju desa Hau Thao di Sapa, Vietnam. (photo : Liem Joeng Liang)
Sekitar 7 jam kami akhirnya mencapai desa Hau Thao, kami dikejutkan oleh tim X2 yang ternyata sudah finish. Kami sempat heran karena kami berhasil mendahului mereka setelah cek poin yang keempat. Ternyata menurut panitia, mereka bisa finish pertama karena mereka tidak melalui beberapa cek poin yang sudah ditentukan panitia.

Meskipun kami datang pada urutan kedua tapi secara perolehan skor kami tetap yang tertinggi pada tantangan speed treking menuju desa Hau Thao ini. Tim X2 kembali harus puas menjadi yang kedua setelah kami. Sementara itu tim X9 masih belum menampakkan diri, menurut panitia mereka akhirnya dievakuasi langsung menuju desa Hau Thao untuk menjalani tantangan memasak. Nilai mereka pada tantangan speed menuju desa ini hangus.

Tim X4 menjalani tantangan memasak untuk tuan rumah berupa mie goreng, nasi, dan tumis labu siam di desa Hau Thao Sapa, Vietnam. (photo : Faela Shafa/detiktravel)
Tantangan memasak dimulai, semua tim memasak untuk tuan rumah masing-masing dengan harapan mendapatkan nilai tertinggi dari tuan rumah. Tim kami memasak mie goreng, nasi, dan tumis labu siam untuk menjamu tuan rumah. Mie khas vietnam dengan cara memasak ala Indonesia dipadu dengan nasi dan tumis labu siam ini berhasil membuat sang tuan rumah memberi kami nilai 75.

Nilai yang tidak jelek buat kami, sementara itu tim X2 mendapatkan nilai 23 poin dari tuan rumah. Nampaknya masakan mereka tidak cukup membuat tuan rumah bisa memberi nilai bagus. Tim X9 akhirnya datang setelah dievakuasi, mereka langsung memasak untuk sang tuan rumah.

Tak disangka mereka mendapatkan nilai sempurna 100 poin pada tantangan memasak ini. Tuan rumah menyukai masakan yang mereka buat dan tim X9 pun cukup terhibur atas poin ini setelah poin speed mereka hangus.

Semua peserta bermalam di rumah penduduk desa Hau Thao, hingga esok paginya peserta harus menjalani tantangan selanjutnya yaitu, menuju kota Oudomxay di Laos. Tantangan ini cukup membuat adrenalin kami terpompa karena kami harus pindah negara melalui jalur darat.

Lepas dari desa Hau Thao kami langsung hitchhiking untuk kembali ke Sapa. Rencana kami adalah setelah sampai di Sapa kami akan mencari informasi bagaimana cara menuju perbatasan Vietnam dan Laos. Pada saat hitchhiking ini kami mendapat pengalaman kurang mengenakkan dengan salah satu lawan dari tim lain.

Ceritanya bermula pada saat ada mobil yang muncul dari tikungan jalan. Saya gerak cepat menyetop mobil tersebut lalu meminta ijin untuk menumpang hingga Sapa. Mobil tersebut pun berhenti untuk mengangkut kami, namun ada salah satu pihak dari tim lain tersebut mengatakan bahwa kami menyerobot mobil tersebut dari mereka.

Kami heran, bagaimana bisa salah satu dari mereka mengatakan itu? Padahal waktu kami menyetop mobil tersebut dari sisi yang lain, mereka baru saja sampai di jalan raya. Bagi kami pantang menyerobot hak orang lain. Akhirnya tim lain tersebut ikut menumpang mobil yang kami stop tadi.

Kami hanya diam saja tidak juga mencoba mengusir mereka, saya pribadi berpikiran biarlah mereka ikut kami toh finish untuk tantangan ini masih jauh di Laos dan kami akan buktikan bahwa tim X4 akan kembali jadi pemenang dalam tantangan ini.

Berdesakan di dalam mobil, tim kami harus berbagi dengan tim tersebut dan meninggalkan tim satunya lagi yang masih mencoba mencari tumpangan, kami melaju cepat menuju Sapa. Tidak ada perbincangan apapun di dalam mobil tersebut di antara kedua tim. Yang ada di dalam hati kami masing-masing, kami merasa yang paling benar.

Sesampainya di Sapa kami berpisah, tim X2 jalan meninggalkan kami. Kami biarkan saja mereka pergi. Kami berhenti sejenak di depan sebuah agen travel, di sana kami bertanya bagaimana menuju ke perbatasan Vietnam dan Laos?
Salah satu sudut di alun-alun Sapa terdapat penjual makanan, alat-alat outdoor, dan agen travel. (photo : Wildan Indrawan)
Menurut informasi dari agen travel tersebut kami harus menuju ke Dien Bien Phu, kota yang berbatasan dengan Laos. Di sana kami akan menemukan bus yang langsung menuju Oudomxay, Laos di terminal Dien Bien Phu. Sementara jadwal bus dari Sapa menuju Dien Bien Phu adalah petang hari.

Kami berpikiran menungggu jadwal bus akan membuang waktu karena pada waktu itu hari masih cukup pagi. Berbekal informasi itu kami bertekad kembali melakukan hitchhiking. Sebelum melakukan hitchhiking kami urutkan dulu kota mana saja yang akan kami lewati.

Setelah mendapatkan cek poin kota mana saja yang akan kami lewati, kami menuju jalan utama untuk menuju Dien Bien Phu. tak sampai setengah jam kami mendapatkan tumpangan dari mobil pribadi, mobil tersebut akan menuju kota Lai Chau sekitar 50 km dari Sapa. Menurut kami itu jarak yang lumayan untuk segera meniggalkan tim lain.

Langsung kami berangkat menuju Lai Chau, sang pemilik mobil sangat ramah namun sayang mereka tidak bisa berbahasa inggris jadi sepanjang jalan kami hanya mengobrol antar sesama kami saja. Di tengah perjalanan mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti, ternyata sang pemilik mobil ingin beristirahat dan bersantai di sebuah kedai di pinggir jalan.
Dalam perjalanan menuju Dien Bien Phu kami ditraktir oleh pemilik mobil yang kami tumpangi. Terbatasnya komunikasi karena perbedaan bahasa tak menghalangi kami untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan gambar. (photo file : Wildan Indrawan)
Mereka mengajak kami dan mentraktir kami minuman ringan dan snack. Sungguh beruntung, sudah mendapat tumpangan gratis, kami ditraktir juga. Tak lama di kedai tersebut kami melanjutkan perjalanan, sekitar 2 jam akhirnya kami sampai di kota Lai Chau. Kami berpisah dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Kota Lai Chau ini cukup sepi namun banyak bangunan pemukiman di kota ini. Sekilas, banyaknya bangunan tidak sebanding dengan jumlah penduduk setempat, jadi kota ini sangat lengang. Kami diturunkan di terminal bus dan menurut jadwal, bus untuk menuju ke Dien Bien Phu juga petang hari.
Bersama kameraman berfoto bersama sambil menunggu tumpangan di pinggir jalan kota Lai Chau. Nampak di belakang kami adalah terminal bus Lai Chau. (photo : Liem Joeng Liang) 
Sembari menunggu jadwal bus, kami melakukan hitchhiking di pinggir jalan. Cukup sulit untuk menyetop mobil di kota ini karena sangat sepi mobil yang berlalu-lalang. Satu jam lebih kami mencoba stop mobil yang lewat dan belum berhasil. Akhirnya kesabaran kami berbuah manis, ada sebuah truk yang sangat besar, bahkan besar sekali dan mau mengangkut kita sampai Dien Bien Phu.

Beruntung sekali kami bisa mendapatkan tumpangan langsung ke Dien Bien Phu. Perjalanan masih ratusan kilometer lagi dan kami berharap lawan-lawan kami akan menggunakan bus yang jadwalnya berangkat petang hari.

Truk yang kami tumpangi ini jalannya sangat lambat karena ukurannya yang sangat besar. Di samping itu banyak jalan yang rusak untuk menuju Dien Bien Phu ini. Kami beberapa kali harus menahan nafas karena jalur yang kami lewati adalah jalan di pinggir tebing yang sewaktu-waktu bisa terjadi longsor atau bahkan bisa masuk jurang yang dalamnya hingga puluhan meter.
Di dalam kabin truk kami beristirahat berdesakan dengan barang-barang bawaan kami. (photo shaking by : selfie Wildan Indrawan)
Perjalanan cukup menegangkan apalagi sopir truk ini sering aktif memainkan ponselnya. Hari pun semakin malam, perjalanan melewati tebing dan jurang ini masih panjang. Saya bilang ini adalah jalur paling gila yang pernah saya lewati. Truk yang besar ini melewati medan yang berbahaya tersebut dengan santainya sementara kami berkali-kali harus menahan nafas karena  banyak jalan yang menyempit karena terjadi longsor.

Tengah malam kami mencapai kota Muong Lay, truk berhenti di depan rumah makan. Sopir dan pendampingnya ingin beristirahat untuk makan malam. Kami ditanya oleh mereka apakah kami juga akan makan? Kami tidak makan karena uang kami tidak cukup aman untuk makan. Si sopir dan temannya pun makan tanpa kami.

Setelah mereka selesai makan, kami pikir mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Dien Bien Phu. Namun ternyata mereka menyarankan kami untuk menginap di kota Muong Lay dan melanjutkan perjalanan pada esok pagi. Kami menolak dan menegaskan bahwa kami harus segera sampai Dien Bien Phu untuk melanjutkan perjalanan menuju Oudomxay, Laos.

Ada warga setempat yang bisa berbahasa inggris menawarkan kami untuk menginap di hotel. Tentu saja kami menolaknya karena budget kami pasti tidak akan cukup untuk menginap di hotel. Orang tersebut mengatakan bahwa tidak akan ada kendaraan umum yang menuju ke Dien Bien Phu pada tengah malam.

Namun, saya berkeyakinan tetap akan ada kendaraan yang akan lewat dan mengangkut kami. Saya kembali mencoba hitch hiking, berkali-kali ditolak dan tidak ada yang mengangkut kami. Pada akhirnya ada mini bus yang menuju Dien Bien Phu dengan harga yang cukup murah. Kami pun masuk dan melaju menuju Dien Bien Phu.

Sebenarnya tidak jauh untuk menuju Dien Bien Phu dari Muong Lay namun perjalanan kami menjadi lama karena jalan yang rusak dan berkelok. Dini hari kami mencapai Dien Bien Phu, di sana kami mencoba hitch hiking untuk segera mencapai Oudomxay, Laos. Yang ada adalah taxi yang bentuknya menyerupai mobil pribadi dengan harga sewa yang cukup mahal.

Kami memutuskan untuk ke terminal Dien Bien Phu untuk melihat jadwal bus yang menuju Oudomxay, Laos. Jadwal menunjukkan bahwa akan ada bus yang menuju ke sana pada pukul 06.00 sementara waktu itu masih menunjukkan pukul 02.00. Kami terpaksa harus menginap, beberapa kali kami ditawari hotel untuk menginap namun tentu saja kami tolak karena itu adalah hal yang mustahil mengingat budget kami yang terbatas.
Dini hari kami harus menginap di trotoar di sebrang terminal bus Dien Bien Phu untuk menunggu jadwal bus pagi hari (photo : Mutiara)
Kami memilih untuk tidur di trotoar di depan sebuah hostel. Kami menggelar matras dan tidur secukupnya untuk menunggu jam 06.00 pagi. Tempat istirahat yang tidak nyaman dan itu terpaksa kami lakukan karena kami memilih menghemat budget. Kami terus menghemat budget karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Seperti hal yang tak terduga di border Vietnam dan Laos di The Extreme Journey Across Asia : Extreme Cycling Across Laos

3 komentar:

  1. Makasi kak...masih belajar nulisnya...

    Iye takpe lah lomba sudah selesai pun wkwkwkkwkk

    BalasHapus
  2. Keren wildan hitchhiking luar negeri ������

    Salam Jempol Hitchhiker Indonesia,
    ~ejie~

    BalasHapus