Senin, 16 Juni 2014

The Extreme Journey 2014 Across Indonesia

Setelah Djarum Super  Adventurace 2008 dan Djarum Super Adventurace 2010, The Extreme Journey 2014 menjadi event petualangan selanjutnya yang saya ikuti. Perlombaan ini layak untuk disebut petualangan menguras fisik dan pikiran. Dalam perlombaan yang diselenggarakan Caldera Indonesia kali ini saya harus mengikuti beberapa tahapan seleksi. 

Pertama saya harus registrasi secara online dan selanjutnya harus mengikuti seleksi online melalui social media. Saya memilih twitter untuk mengikuti perlombaan ini. Berbagai macam pertanyaan terkait dengan tema petualangan, pengetahuan tentang budaya, dan keunikan Indonesia harus bisa saya jawab dengan cepat dan benar. Hanya peserta dengan poin di atas 7000 yang akan lolos ke tahap selanjutnya. 


Kali itu saya berhasil mengumpulkan poin final hingga 14000 dan menduduki peringkat 6 klasemen. Saya pun lolos tahap selanjutnya yaitu seleksi interview. Cukup lancar saya menjalani interview ini karena pertanyaannya seputar pengalaman traveling dan petualangan yang sudah dilakukan. Saya memang gemar sekali melakukan aktifitas outdoor jadi tidak terlalu sulit bagi saya menjalani interview. Setelah interview saya harus membuat essay dan psikotes.
Daftar nama peserta yang lolos ke tahap Across Indonesia (sumber : facebook caldera indonesia)

Pada akhirnya saya lolos menjadi peserta yang akan berlaga di across Indonesia. Di tahap ini ada 27 peserta dari seluruh Indonesia yang terpilih dan ke semua peserta ini akan dibagi menjadi sembilan tim. Masing-masing tim berjumlah tiga orang.

Ada tiga regional yang akan dibagi untuk ke sembilan tim itu yaitu, regional Jawa-Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur. Anggota tim ditentukan oleh penyelenggara berdasarkan pengalaman dan kondisi psikologis. Di lomba ini saya mendapat teman tim dari Yogyakarta, Mutiara Arum Kirana Suci dan dari Jakarta Liem Joeng Liang. Dalam perlombaan ini setiap tim akan ditempel oleh satu kameramen yang akan mendokumentasikan kegiatan kami sepanjang perjalanan. Kameramen tersebut merupakan salah satu bagian dari penyelenggara. Aldin Hasan kameramen yang akan mengawal kami. 

Tim X4 terdiri atas Mutiara Arum Kirana Suci (Yogyakarta), Wildan Indrawan (Kudus), Liem Joeng Liang (Jakarta). (photo : Caldera Sobek)
Tim kami mendapat kesempatan berlaga di regional Sulawesi. dari Jakarta kami harus terbang menuju Makasar ibukota Sulawesi Selatan. Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan di sana, semua uang, ATM hingga kartu kredit dari semua peserta disita oleh penyelenggara. Cukup mengejutkan tapi kami semua tetap bersemangat untuk memulai perlombaan ini.

Tantangan hari pertama kami harus menemukan jembatan timbang di Maccopa, Maros! Itulah tantangan pertama bagi peserta regional Celebes ini. Tim kami segera mencari cara untuk menuju tempat tersebut. Di antara kami tidak ada yang tahu di mana tempat itu dan kami harus bertanya ke penduduk setempat bagaimana caranya untuk bisa ke sana. Kami harus menggunakan pete-pete atau angkutan kota untuk menuju ke sana. tiga kali berganti pete-pete akhirnya kami berhasil menjadi tim pertama yang check in di jembatan timbang itu.

Selanjutnya kami harus menuju pasar Tombolo di Maros. Kami tidak menyangka akses menuju pasar ini sangat susah. Tidak banyak pete-pete yang melalui jalan menuju pasar Tombolo ini. Alhasil, kami harus hitch hiking atau menyetop dan menumpang kendaraan yang lewat. Beberapa kali kami gagal mencoba menghentikan kendaraan untuk kami tumpangi, tidak mudah memang.
Saya dan Liem harus berdesakan dengan barang di mobil tumpangan (photo : Mutiara)
Akhirnya kami berhasil menghentikan mobil minibus yag dikendarai seorang mahasiswa yang baru saja pulang dari kampus. Cukup lumayan dia mengantar kami, jarak tempuh sekitar 10 km. Tak jauh beda dengan tim kami, tim lain juga mengalami kesulitan yang sama. Hingga tempat finish, tim kami tercatat berganti enam kali tumpangan. Adalah hal yang tak bisa kami lupakan saat harus menumpang truk pengangkut telur ayam yang kosong. Mutiara duduk di kabin truk bersama Aldin, kameramen kami, sementara saya dan Liem harus berpegangan pada pintu belakang truk tersebut.
Truk pengangkut telur yang akan kami tumpangi, Saya dan Mutiara sedang meminta tolong untuk bisa menumpang hingga Pasar Tombolo. (photo : Caldera Sobek)
Sampai pegal tangan kami berdua berpegangan, kami pikir tumpangan ini hanya beberapa kilometer ke depan saja. Ternyata cukup jauh truk telur ini mengangkut kami. Akhirnya kami berdua tak kuat lagi dan minta berhenti untuk istirahat. Alangkah beruntungnya sopir truk kami menawarkan kami untuk masuk ke dalam box pengangkut telur tersebut. Ternyata box truk telur tersebut kosong, tak pikir panjang kami masuk dan merebahkan diri di dalam box tersebut.

Akhirnya tim kami menjadi tim kedua yang finish di Pasar Tombolo setelah tim biru. Sementara tim merah harus puas di posisi tiga. Perhitungan poin adalah, dalam menyelesaikan sebuah tantangan apabila sebuah tim dapat menyelesaikan sebagai yang pertama maka akan mendapatkan 100 poin, kedua 75 poin dan ketiga 50 poin. Poin tidak hanya diperoleh dari tantangan saja tapi dari catatan harian, postingan foto di social media, dan gambar video yang harus kami ambil sepanjang perjalanan, jadi setiap tim dibekali satu handycam. 
Saya melakukan waterfall rapeling di air terjun Monrolo di Kota Maros. (photo : Caldera Sobek)
Kami harus bermalam di desa tersebut untuk menjalani tantangan hari kedua yaitu, waterfall rapeling. Kami harus menuruni air terjun Monrolo untuk mendapatkan poin. Dalam laga kali ini, kami memang tidak banyak pengalaman untuk melakukan rapeling tapi kami tetap optimis melakukan tantangan ini. Hasilnya kami kembali mendapatkan posisi kedua tercepat di tantangan ini. Tim biru kembali memenangkan tantangan ini.

Masih dalam hari yang sama, setelah menuruni air terjun Monrolo kami harus menuju ke kampung Berua, Rammang-Rammang. Dari desa yang tidak banyak akses angkutan umumnya kami nampak kesulitan dalam menjalani tantangan ini. Tim kami sempat terpisah-pisah karena harus menumpang motor penduduk setempat. Hingga akhirnya kami kembali menjadi satu di truk pengangkut telur ayam.
Berjibaku dengan waktu di atas truk pengangkut pasir (photo : Aldin Hasan)
Berkali-kali berganti tumpangan kami akhirnya mencapai kampung Berua, Rammang-Rammang. Kami kecewa karena harus puas menjadi tim paling akhir yang finish di kampung ini. Di kampung ini kami harus menginap di salah satu rumah warga. Kampung ini terletak di antara persawahan dengan bukit karst yang sangat indah, hanya ada 15 rumah di kampung ini. Kami agak terhibur karena keindahan lanskap kampung Berua dan keramahan keluarga Iyaji tempat kami bermalam.
Melintasi bebatuan karst di sungai menuju kampung Berua desa Rammang-Rammang Maros (photo : Wildan Indrawan)
Esoknya, semua peserta dibawa panitia penyelenggara menuju Tebing di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tim kami tidak terlalu berpengalaman dalam hal ini namun kami tetap optimis untuk memperbaiki posisi. Di tantangan ini Mutiara menunjukkan kemampuannya dengan baik, Ia berkontribusi dengan menyumbangkan poin bagi tim kami. Saya dan Liem kurang bisa memberikan kontribusi, kami berdua gagal menaiki tebing ini karena alasan berat badan. Kali ini tim merah menjadi tim yang berhasil memenangkan tantangan ini sedangkan tim biru terperosok di posisi terakhir.

Kontribusi Mutiara di tantangan panjat tebing terbukti mampu memompa semangat tim kami (photo : Wildan Indrawan)
Setelah tantangan ini Saya berpikiran bahwa kami harus berusaha lebih dari yang sudah kami lakukan, karena poin kami terhitung masih terlalu sedikit untuk memenangkan regional Sulawesi ini. Tantangan selanjutnya kami harus menuju negeri orang mati yang hidup. Tana Toraja ! itu tebakan saya secara spontan. Kami harus menuju ke sana dengan bekal sedikit uang untuk biaya perjalanan dan makan kami.

Saya dan Liem di atas mobil tumpangan menuju Tana Toraja (photo : Mutiara)
Tercatat enam kali kami harus berganti tumpangan untuk mencapai Tana Toraja dan kami lakukan itu dengan tanpa biaya sepeser pun. Uang dari panitia masih utuh dan kami jadi merasa ahli dalam melakukan hitch hiking. Tim kami menjadi tim pertama yang mencapai negeri orang mati ini. Bahkan, panitia tidak menyangka kami datang secepat itu. Poin kami bertambah sekaligus kami mendapat hadiah privilege sebuah kamar di wisma Maria. Tim biru menyusul beberapa jam kemudian dan tim merah kali ini harus kembali mendapatkan posisi terakhir.

Peserta bersiap menaklukkan tantangan Toraja Trails. (photo : Caldera Sobek)
Esoknya, tantangannya adalah mountain biking menemukan cek poin di area Tana Toraja yang cukup luas. Setelah kemenangan kami sebelumnya, saya masih belum merasa tenang karena jalan menuju kemenangan masih jauh. Di tantangan kali ini kami berniat mendulang poin maksimal karena babak kali ini adalah pengumpulan poin bonus. Poin bisa mencapai ribuan dengan cara mengumpulkan foto, memecahkan sandi, dan mengunggah di social media.

Cukup menguras tenaga di tantangan kali ini karena kami harus bersepeda sejauh 60 km untuk mencari cek poin di wilayah Tana Toraja. Salah satu personil tim kami, Mutiara kehabisan tenaga. Saya mengkhawitirkan kondisinya karena ia mengaku punggungnya terasa nyeri yang luar biasa. Saya putuskan untuk melanjutkan bersama Liem ke cek poin selanjutnya yang jaraknya cukup jauh dari titik start dan membiarkan Mutiara beristirahat.

Salah satu tantangan yang cukup melelahkan karena stamina sudah terkuras yaitu, menaiki puncak Rantepao dan berfoto bersama dengan background lanskap kota Rantepao (photo : Aldin Hasan)
Kerja keras kami terbayar, setelah berjibaku dengan sandi, mengumpulkan foto, dan mengunggahnya di social media, kami menjadi tim pertama yang menyelesaikan tantangan ini. Namun, perhitungan poin bukan siapa yang tercepat menyelesaikan tantangan tetapi seberapa banyak kami menyelesaikan cek poin. Saya pribadi cukup yakin dengan perolehan poin tim kami pasti di atas tim yang lain. Perhitungan akan diumumkan di cek poin selanjutnya yaitu di Kepulauan Togean.

Berkejaran dengan waktu, salah satu cara adalah, kami menumpang mobil pick up untuk menuju Ampana (photo : Mutiara)
Menuju kepulauan Togean kami harus melewati jalur neraka dari Tana Toraja - Ampana - Togean. Cek poin itulah yang harus kami capai kali ini. Mengapa disebut jalur neraka, karena jalan menuju kota ini cukup banyak berkelok dan di beberapa tempat ada jalan yang cukup rusak untuk dilewati. Kami melakukan dengan cara yang sama yaitu hitch hiking. Kami merasa cara ini adalah cara yang efisien dan menghemat budget.

Tercatat tujuh kali kami harus berganti tumpangan mulai mobil pick up, truk, mobil pribadi dan kendaraan umum harus kami tumpangi untuk mencapai dermaga Ampana sebelum waktu yang ditentukan. Karena apabila kami melewati waktu yang ditentukan akan berakibat sangat fatal yaitu kami tidak akan kebagian tiket kapal menuju Kepulauan Togean.

Berpacu dengan waktu, kami cukup kelelahan di perjalanan yang menurut saya menyebalkan ini. Bagaimana tidak, kami harus berdesakan dengan barang-barang dan driver yang memacu mobilnya dengan cepat di jalan berkelok yang rusak, tambah lagi suara musik koplo khas Sulawesi yang diputar sangat kencang suaranya hingga membuat kepala pusing.
Berfoto dengan turis asal Prancis di tempat registrasi pembelian tiket kapal menuju Kepulauan Togean (photo : anonim)
Akhirnya semua tim secara terpisah berkumpul di dermaga Ampana. Rupanya tim merah dan biru sudah sampai di dermaga  ini dengan cara "berkoalisi" menyewa mobil dari Tana Toraja. Kami semua bermalam di Ampana untuk melanjutkan ke cek poin selanjutnya di Kepulauan Togean.

Saya dan Mutiara di dalam kapal penumpang menuju Kepulauan Togean dari dermaga Ampana (photo : Liem Joeng Liang)
Esoknya semua peserta berangkat menggunakan kapal penumpang menuju Kepulauan Togean tepatnya di Pulau Katupat. sekitar 3 jam perjalanan kami sampai di pulau ini, cukup melelahkan namun kapal yang kami tumpangi cukup nyaman karena setiap penumpang mendapatkan matras untuk tidur.

Sesampai di pulau Katupat kami harus menyebrang ke pulau Pangempa, caranya kami harus saling berpacu dengan sampan untuk mendapatkan poin di cek poin ini. Kami merasa optimis di tantangan ini karena saya punya cukup pengalaman mendayung sampan. Priiittt !! peluit tanda start dimulai, kami mendayung sampan kami sekuat tenaga. Posisi sampan kami ada di tengah antara tim biru dan tim merah.

Tantangan dayung dari pulau Katupat menuju pulau Pangempa. (photo : Caldera Indonesia)
Baru beberapa meter kami mendayung, tanpa sengaja kedua sampan mereka mulai ke arah sampan kami dan menjepit kami hingga tidak bisa bergerak. Dayung saling beradu, sampan kami kemasukan air akibat siraman air dari dayung kedua tim tersebut. Sial ! umpat saya, sampan kami akhirnya tenggelam dan tidak bisa melanjutkan tantangan tersebut. Akhirnya kami harus dievakuasi panitia menuju finish. Karena evakuasi datangnya cukup lama, saya memutuskan untuk berenang meninggalkan dua orang teman saya yang masih terapung berpegangan sampan menuju garis finish yang jaraknya lumayan jauh itu. Maksud dari saya berenang ini adalah Saya ingin menunjukkan kedua teman tim saya dan peserta tim lain bahwa tim kami tidak mudah menyerah dan akan membayarnya di tantangan selanjutnya.
Beristirahat di resort pulau Pangempa sembari mengumpulkan energi untuk tantangan selanjutnya (photo : Mutiara) 
Cukup mengesalkan sampan kami harus tenggelam dan kami menjadi tim ketiga yang mencapai finish. Namun kami cukup terhibur karena pulau tersebut sangat indah dan tersedia resort yang cukup nyaman untuk disinggahi malam ini. Malamnya kami dimanjakan dengan pesta barbeque untuk menghilangkan stress dan lelah. Di malam itu juga diumumkan perolehan poin bonus di Tana Toraja lalu. Tim kami menyodok ke peringkat pertama karena tertolong di Tana Toraja.

Ulat sagu, menjadi "menu" tantangan pagi di pulau Pangempa. (photo : Caldera Indonesia)
Esoknya, kami harus menghadapi tantangan yang tidak kami sangka, kami harus makan ulat sagu ! Saya cukup terganggu dengan tantangan kali ini karena saya selalu merasa geli melihat hewan-hewan seperti ini. Namun, show must go on, saya harus mengalahkan perasaan geli dan jijik saya itu. Satu ulat sagu dihargai 25 poin dan masing-masing tim disediakan 20 ekor ulat sagu untuk dihabiskan.
Liem Joeng Liang dengan lahap menghabiskan 10 ekor ulat sagu. (photo : Caldera Indonesia)
Liem sangat berkontribusi pada tantangan kali ini, ia mampu menghabiskan 10 ekor ulat sagu, sedangkan saya hanya mampu menghabiskan 5 ekor ulat sagu dan Mutiara 2 ekor ulat sagu. Kami menjadi tim ketiga dengan poin terendah setelah tim biru dan merah. Dua kali kami berturut-turut harus puas di posisi ketiga, bergemuruh hati saya untuk membayar semua kekalahan kami.

Danau Mariona, danau air payau terdapat ribuan ubur-ubur di dalamnya tempat salah satu tantangan The Extreme Journey (photo : Caldera Indonesia)
Tantangan selanjutnya kami harus bergeser ke sebuah danau yang masih di kawasan  Kepulauan Togean. Danau Mariona, adalah danau air payau yang di dalamnya terdapat ribuan ubur-ubur dan kami harus snorkeling untuk mencari bendera yang terdapat di dalam danau tersebut. Saya orang pertama dari tim kami yang melakukan tantangan ini. Snorkel dan diving bukan hal baru bagi saya, dan saya yakin dapat berbuat banyak di tantangan ini. 

Yudan Yunarko, kompetitor dari tim merah harus bersusah payah mendapatkan bendera di bawah terpaan hujan deras (photo : Caldera Indonesia)
Alhasil saya dapat mengumpulkan empat buah bendera dari 13 bendera yang ada. Sayangnya Liem  dan Mutiara tidak dapat menemukan bendera karena tim lain lebih dahulu menemukannya. Satu bendera berharga 25 poin, kami memperoleh tambahan poin di  tantangan kali ini dengan berhasil menjadi tim kedua terbanyak yang mendapatkan bendera setelah tim biru yang berjumlah lima bendera dan yang terakhir tim merah dengan dua bendera.

Senja di atas Kapal Ferry dari Kepulauan Togean menuju Gorontalo (photo : Mutiara)
Perjalanan panjang dan ekstrim ini belum berakhir, kami harus menuju Gorontalo untuk tantangan selanjutnya. Menggunakan kapal Ferry, peserta dan panitia berangkat bersama. Disuguhi pemandangan elok sepanjang perjalanan membuat kami merasa rileks. Kami bermalam di Kapal tersebut dan sampai di Gorontalo pada esok harinya pukul 4 pagi. 
Disambut warga Gorontalo untuk beramah-tamah (photo : anonim)
Setelah beristirahat dan membersihkan diri, kami menuju suatu desa di daerah Gorontalo. Di desa ini kami disambut dengan tarian adat bak seorang pengantin pria yang melamar pengantin wanita. Luar biasa Indonesia, kata saya dalam hati. beragam keindahan alam, keunikan budaya, dan keramahan warganya membuat saya mencintai alam negeri ini. Namun sayang keindahan negeri ini dicemari oleh politisi-politisi korup yang lebih layak mati dimakan hiu di indahnya laut Indonesia.
Membuat rakit untuk Rakit Rafting di Sungai Bone, Gorontalo (photo : Caldera Indonesia)
Di desa ini kami harus menjalani tantangan yang kami semua belum pernah lakukan. Kami harus Rafting. Ya, rafting !! tapi kami harus menggunakan rakit dari bambu yang kami buat sendiri. Dengan arahan dari warga desa setempat kami membuat rakit secepatnya. Cukup susah dan menguras tenaga karena kami harus membuat rakit itu di bawah teriknya matahari.

Kami berhasil menjadi yang pertama menyelesaikan rakit tersebut. Tidak perlu buang waktu, kami ceburkan rakit itu di Sungai Bone, Gorontalo. Kami pacu rakit kami sementara tim lain masih sibuk menyelesaikan rakitnya. Cukup jauh kami meninggalkan mereka dan kami kini harus menghadapi arus sungai yang cukup kencang dengan bebatuan yang cukup banyak di beberapa tempat.

Kami menjadi tim pertama yang finish rakit rafting ini dan tugas selanjutnya menanti. Kami harus menuju ke benteng Otanaha, namun sebelumnya kami harus menemukan patung Nani Wartabone dan menara "Eiffel"nya Gorontalo dan berfoto di dua tempat tersebut. Saya cukup heran karena ada menara Eiffel di Gorontalo. Tidak berlama-lama dengan keheranan saya, kami bergegas mencari kendaraan yang bisa mengantar kami ke tempat-tempat tersebut.
Basah kuyup setelah rakit rafting kami harus berfoto dengan latar belakang patung Nani Wartabone (photo : Harys Sikumbang)
Menggunakan bentor atau becak motor kami menuju ke patung Nani Wartabone yang jaraknya tidak jauh dari tempat finish rafting. Segera kami berfoto dan bergegas menuju menara Eiffel, ternyata menara ini letaknya cukup jauh sekitar 30 menit kami harus ke sana menggunakan bentor. Benar-benar mirip Eiffel namun versi mini. Kami menaikinya hingga puncak dan berfoto di atasnya, pemandangan Gorontalo nampak terlihat jelas dari sini.
Menara Keagungan, menara yang menyerupai menara Eiffel di Prancis ini ada di Gorontalo (photo : google.com)
Usai dari Eiffel kami memacu bentor untuk menuju destinasi terakhir di Gorontalo, yaitu benteng Otanaha. Di benteng ini kami harus menaiki sekitar 300-an anak tangga untuk mencapai finish. Kami kembali menjadi tim pertama yang finish di benteng ini. Cukup melelahkan namun kami puas bisa mengamankan posisi untuk tetap di puncak klasemen. Tim biru menjadi tim yang kedua dan merah menyusul di belakangnya.
Menjadi tim pertama yang finish di Benteng Otanaha, Gorontalo. (photo : Ricco Suhardian)
Tantangan selanjutnya kami harus menuju Kota Bunga. Bandung? bukan! tapi Tomohon. Kota ini berada di selatan kota Manado dan kami harus ke sana tanpa boleh menggunakan transportasi umum. Saya pribadi cukup percaya diri dalam melakukan tantangan ini karena beberapa kali perpindahan kota kami selalu menggunakan cara menumpang dan hanya beberapa kali menggunakan transportasi umum kalau terpaksa. 
Salah satu mobil tumpangan kami menuju Tomohon (photo : Aldin Hasan)
Segera kami menghilang dari pandangan mata tim lain. Segera kami menumpang mobil untuk sambung menyambung bisa sampai di Tomohon. Terhitung tujuh kali kami harus berganti tumpangan dan semua berjalan dengan lancar. Pengalaman paling menarik adalah ketika kami kesusahan mencari tumpangan begitu sampai di Tomohon untuk menuju tempat finish. Tempat finish ini adalah pasar Beriman dan letaknya sekitar 30 km dari tempat kami saat itu.
Menunggu tumpangan di tengah malam. (photo : Mutiara)
Banyak sekali angkutan yang berseliweran, namun kami tidak diperbolehkan menggunakan moda transportasi umum. Berkali-kali mobil pick up dan truk menolak kami. Hampir putus asa kami akhirnya hendak menyewa mobil untuk menuju ke lokasi finish karena "tabungan" uang kami cukup banyak. Kami mencari warga yang mobilnya bisa kami sewa dan mau mengantar kami ke pasar Beriman.

Akhirnya kami menemukan warga yang mau mengantar kami, Mutiara dan Liem cukup pintar bernegosiasi dengan warga ini. Namun ada pergolakan batin dalam hati kecil saya, apakah kami akan mendapat diskualifikasi jika melakukan ini? atau tidak apa-apa. Tiba-tiba ada sebuah truck pengangkut pasir yang lewat di depan kami, saya berlari mengejarnya dan memohon tumpangan menuju pasar Beriman. Kami bersyukur kami diijinkan menumpang, dan kami lanjutkan perjalanan dengan truk tersebut.
Tempat finish di pasar Beriman, Tomohon (photo : Ricco Suhardian)
Cukup lama perjalanan menuju pasar Beriman, sekitar satu jam kami tempuh. Sesampainya di sana kami berlari memasuki pasar yang menurut saya sangat aneh. Baru pertama kali ini saya melihat pasar berisi hewan-hewan yang tak lazim dimakan seperti kucing, anjing, kelelawar, ular dan binatang yang aneh lainnya. Tidak butuh waktu lama kami menemukan tempat finishnya dan kami kembali menjadi yang pertama memenangkan tantangan ini. Tim biru menyusul beberapa jam kemudian dan tim merah kembali menjadi yang terakhir.
Breafing sebelum tantangan terakhir di gunung Mahawu, Tomohon (photo : Caldera Indonesia)
Setelah semua tim berkumpul kami harus menjalani final challenge yaitu berburu tikus di kebun penduduk sekitaran gunung Mahawu. Kami diajarkan untuk membuat jerat yang nantinya akan kami gunakan untuk menjebak tikus. Kami pasang jebakan tersebut sebelum petang dan malamnya kami harus berburu tikus dengan menggunakan senapan yang dipandu dengan penduduk setempat. Saya pribadi berkeyakinan bahwa poin kami cukup aman untuk memenangkan The Extreme Journey babak Across Indonesia ini, jadi saya merasa tidak terbebani dengan tantangan ini.
Tim biru berhasil mendapatkan dua ekor tikus hutan ekor putih (photo : Ricco Suhardian)
Kami cukup santai menyelesaikan tantangan ini, bahkan kami kembali ke basecamp lebih awal dari tim lain. Pada keesokannya kami harus mengecek jebakan yang kami pasang. Nihil, kami tidak mendapatkan apa-apa, begitu juga tim merah. Ternyata tim biru berhasil mendapat dua ekor tikus hasil dari perburuan dengan senapan satu ekor dan dari jebakan satu ekor. Salut!! gumam saya dalam hati, setelah beberapa kali kami kalahkan, mereka tak patah arang berusaha mengejar poin kami. Namun saya berkeyakinan bahwa kami yang akan memenangkan Across Indonesia regional Sulawesi.

Tim kami memenangkan The Extreme Journey Across Indonesia Regional Sulawesi

Ya, pada akhirnya diumumkan bahwa kami menjadi pemenang The Extreme Journey Across Indonesia regional Sulawesi. Hasil diperoleh dari tantangan, speed, catatan harian, foto social media, dan video. Perbedaan poin kami dengan tim biru sangat tipis, ini menandakan persaingan di regional ini cukup ketat dan kompetitif, tidak ada tim yang bisa bertahan lama di puncak klasemen karena sewaktu-waktu bisa tergeser posisinya.

Kekeluargaan tetap terjaga antar peserta meski kami harus saling megalahkan di kompetisi (photo : Caldera Indonesia)

Kompetisi regional Sulawesi berakhir masing-masing peserta harus kembali ke daerah asal masing-masing. Tim kami akan berlaga di babak final yang akan rencananya akan dilaksanakan di Nepal. Satu tim dari regional Jawa-Bali dan satu tim dari Regional NTB-NTT akan menjadi lawan kami selanjutnya di The Extreme Journey Across Asia.

Video Trailer : 

4 komentar: